JAKARTAMU.COM | Di tengah-tengah jalur kafilah yang menghubungkan Laut Merah—antara Yaman dan Palestina—membentang barisan bukit sepanjang kira-kira delapan puluh kilometer dari pantai.
Bukit-bukit ini mengelilingi sebuah lembah yang tidak terlalu luas, yang hampir-hampir terkepung sepenuhnya oleh bukit-bukit tersebut, jika saja tidak terdapat tiga jalur keluar: pertama, jalan menuju Yaman; kedua, jalan ke arah Laut Merah, yaitu ke pelabuhan Jeddah; dan ketiga, jalan menuju Palestina.
“Dalam lembah yang dikelilingi bukit-bukit inilah terletak kota Makkah,” tulis Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul “Sejarah Hidup Muhammad”. Dia mengakui menelusuri sejarah pembangunan kota ini sangatlah sulit.
“Kemungkinan besar, asal-usulnya bermula sejak ribuan tahun yang lalu. Yang dapat dipastikan adalah bahwa lembah tersebut dahulu menjadi tempat perhentian kafilah untuk beristirahat, karena terdapat sumber mata air. Maka dari itu, rombongan kafilah membentangkan kemah-kemah mereka—baik yang datang dari arah Yaman menuju Palestina, maupun sebaliknya,” lanjutnya.
Kemungkinan besar, Ismail, putra Nabi Ibrahim, adalah orang pertama yang menetap di tempat itu. Sebelumnya, lokasi tersebut hanya menjadi jalur lintasan kafilah dan tempat berdagang secara barter antara kafilah dari wilayah selatan Jazirah Arab dan kafilah dari wilayah utara.
Menurut Haekal, jika benar Ismail adalah orang pertama yang menjadikan Makkah sebagai tempat tinggal, maka sejarah tempat itu sebelumnya sangat gelap. Boleh jadi, daerah tersebut sudah dijadikan tempat ibadah sebelum kedatangan dan menetapnya Ismail.
Nabi Ibrahim
Kisah kedatangan Ismail ke tempat ini pun membawa kita kepada cerita Nabi Ibrahim secara singkat.
Ibrahim dilahirkan di Irak (Chaldea), dari seorang ayah tukang kayu pembuat patung. Patung-patung itu dijual kepada masyarakat dan kemudian disembah.
Ketika Ibrahim tumbuh dewasa, ia menyaksikan sendiri bagaimana masyarakat memberi penghormatan kepada benda yang diukir oleh tangan manusia, termasuk patung yang dibuat oleh ayahnya. Timbul rasa ragu dalam hatinya. Ia pernah bertanya kepada ayahnya: bagaimana bisa hasil kerajinan tangan disembah?
Ibrahim lalu menyampaikan pertanyaan dan keraguannya kepada masyarakat. Ayahnya mulai mengkhawatirkan sikap anaknya itu, karena takut akan merusak usahanya. Namun Ibrahim adalah orang yang berpikir kritis dan mengandalkan akal. Ia ingin membuktikan kebenaran keyakinannya dengan logika dan bukti.
Pada suatu kesempatan, saat orang-orang sedang lengah, ia mendekati berhala-berhala dan menghancurkannya—kecuali berhala yang paling besar. Ketika masyarakat mengetahui kejadian itu, mereka bertanya:
“Engkaukah yang melakukan ini terhadap dewa-dewa kami, hai Ibrahim?”
Ia menjawab: “Tidak. Itu dilakukan oleh yang paling besar di antara mereka. Tanyakanlah kepada mereka, jika memang mereka bisa berbicara.” (Q.S. Al-Anbiya [21]: 62–63)
Ibrahim melakukan tindakan itu setelah ia merenungkan kesesatan dalam penyembahan berhala. Ia mencari siapa yang sebenarnya patut disembah.
“Ketika malam telah gelap, ia melihat sebuah bintang dan berkata: ‘Inilah Tuhanku.’ Namun ketika bintang itu terbenam, ia berkata: ‘Aku tidak suka kepada yang terbenam.’ Kemudian ia melihat bulan terbit dan berkata: ‘Inilah Tuhanku.’
Akan tetapi saat bulan itu juga terbenam, ia berkata: ‘Jika Tuhanku tidak memberi petunjuk kepadaku, pastilah aku termasuk orang-orang yang sesat.’ Lalu ia melihat matahari terbit dan berkata: ‘Ini Tuhanku, ini yang lebih besar.’ Namun ketika matahari itu juga terbenam, ia berkata: ‘Wahai kaumku! Sesungguhnya aku berlepas diri dari apa yang kamu persekutukan. Aku menghadapkan wajahku kepada Tuhan yang menciptakan langit dan bumi, dengan tulus, dan aku tidak termasuk orang-orang yang mempersekutukan-Nya.'” (Q.S. Al-An‘am [6]: 76–79)
Ibrahim tidak berhasil mengajak masyarakatnya untuk beriman. Sebagai balasan, mereka mencampakkannya ke dalam api. Namun Allah menyelamatkannya. Ia lalu melarikan diri ke Palestina bersama istrinya, Sarah. Dari Palestina, mereka melanjutkan perjalanan ke Mesir, yang saat itu berada di bawah kekuasaan raja-raja Amalekit (Hyksos).