JAKARTAMU.COM | Setelah berjalan setahun sejak berlakunya isi Perjanjian Hudaibiyah, Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya sudah bebas melaksanakan isi perjanjian dengan pihak Quraisy untuk memasuki Makkah dan berziarah ke Kakbah. Atas dasar itu, Rasulullah SAW memanggil orang-orang agar bersiap-siap berangkat melakukan umrah al-qadha (umrah pengganti) yang sebelumnya terhalang.
Muhammad Husain Haekal dalam bukunya berjudul “Sejarah Hidup Muhammad” menceritakan dengan mudah dapat diperkirakan betapa kaum Muslimin menyambut panggilan itu.
Ada di antara mereka kaum Muhajirin yang sudah tujuh tahun meninggalkan Makkah, serta kaum Anshar yang memang memiliki hubungan dagang dengan Mekah dan sangat merindukan berziarah ke Kakbah.
Oleh karena itu, anggota rombongan bertambah menjadi sekitar 2.000 orang, dari 1.400 orang pada tahun sebelumnya.
Sesuai isi Perjanjian Hudaibiyah, tidak seorang pun dari mereka dibolehkan membawa senjata selain pedang tersarung.
Namun, Nabi Muhammad masih khawatir akan adanya pengkhianatan. Seratus orang pasukan berkuda di bawah komando Muhammad bin Maslama disiapkan berangkat terlebih dahulu dengan ketentuan agar tidak melewati Makkah. Bila sampai di Marr’z-Zahran, mereka harus menyusur ke sebuah wadi tidak jauh dari sana.
Ternak kurban digiring oleh kaum Muslimin di depan mereka, terdiri dari enam puluh ekor unta, didahului oleh Muhammad di atas untanya sendiri, al-Qashwa’. Mereka berangkat dari Madinah dengan hati yang rindu hendak memasuki Umm al-Qura (Makkah) dan bertawaf di Baitullah. Setiap Muhajirin ingin melihat kembali daerah kelahirannya, rumah tempat dibesarkan, dan teman-teman yang ditinggalkan.
Mereka ingin menghirup udara harum tanah air suci itu dengan penuh rasa hormat dan syahdu, ingin menyentuh bumi daerah suci dan penuh berkah yang telah melahirkan Rasul serta menjadi tempat turunnya wahyu pertama kali.
Suasana kemeriahan itu merupakan peristiwa yang baru satu-satunya terjadi, yang bergerak karena dorongan iman, terbawa oleh Rumah yang oleh Allah dijadikan tempat manusia berkumpul dan tempat aman.
Dengan mata hati, dapat dilihat betapa besarnya kegembiraan mereka. Orang-orang yang sebelumnya terhalang menunaikan kewajiban suci itu kini berangkat dengan penuh sukacita, memasuki Makkah dalam keadaan aman, dengan bercukur kepala atau bergunting tanpa rasa takut.
Ketika Quraisy mengetahui kedatangan Nabi Muhammad dan sahabat-sahabatnya, mereka segera keluar dari Makkah sesuai bunyi Perjanjian Hudaibiyah. Mereka pergi ke bukit-bukit berdekatan, memasang kemah dan berteduh di bawah pohon.
Dari atas bukit Abu Qubais dan Hira, serta tempat-tempat tinggi yang dapat melihat Makkah, penduduk Makkah menjenguk dengan rasa ingin tahu, melihat orang yang dahulu terusir kini memasuki Rumah Suci tanpa halangan.
Kaum Muslimin mulai menyusuri arah utara Makkah. Abdullah bin Rawaha memegang tali kekang al-Qashwa’, sementara sahabat besar lainnya berada di sekitar Nabi Muhammad.
Barisan di belakang mereka terdiri dari orang berjalan kaki dan duduk di atas unta. Saat Rumah Suci terlihat, kaum Muslimin berseru serentak, “Labbaika, labbaika!” dengan hati dan jiwa tertuju kepada Allah Yang Maha Agung, berkeliling dengan penuh harap dan hormat kepada Rasul yang diutus Allah membawa petunjuk dan agama benar yang akan mengalahkan semua agama.
Pemandangan ini sungguh unik dalam sejarah dan mampu menggetarkan tempat itu, bahkan menawan hati orang musyrik ke dalam Islam, meskipun mereka keras mempertahankan paganisme.
Mata penduduk Makkah tertaut pada pemandangan itu, sementara gema “Labbaika, labbaika!” menembus telinga dan menggugah hati mereka.
Sesampainya Rasul di masjid, beliau menyelubungkan kain jubah dengan membiarkan lengan kanan terbuka dan mengucapkan:
“Allahumma irham imra’an arahum al-yauma min nafsihi quwatan.”
(“Ya Allah, berikan rahmat kepada orang yang hari ini memperlihatkan kemampuan dirinya.”)
Kemudian beliau menyentuh sudut Hajar Aswad (batu hitam) dan berlari kecil diikuti para sahabat. Setelah menyentuh ar-Rukn al-Yamani (sudut selatan), beliau berjalan biasa sampai menyentuh Hajar Aswad, lalu berlari kecil lagi berkeliling sebanyak tiga kali, sisanya berjalan biasa.
Setiap kali beliau berlari, dua ribu kaum Muslimin ikut berlari; saat beliau berjalan, mereka pun ikut berjalan.
Pihak Quraisy menyaksikan semua dari bukit Abu Qubais, terpesona oleh pemandangan itu. Mereka yang sebelumnya menganggap Muhammad dan sahabatnya dalam kesulitan kini menyaksikan kekuatan mereka.
Karena semangat saat itu, Abdullah bin Rawaha hendak melontarkan teriakan perang ke arah Quraisy, namun Umar melarangnya dan Rasul berkata:
“Sabarlah, Ibn Rawaha; ucapkan saja: La ilaha illa Allah wahdah, wanashara abdah wa a’azza jundah, wakhadhala’l-ahzaba wahdah.”
(“Tiada tuhan selain Allah Yang Tunggal, yang telah menolong hamba-Nya, memperkuat tentara-Nya, dan menghancurkan sendiri musuh yang bersekutu.”)
Abdullah bin Rawaha kemudian mengucapkan dengan suara keras yang disambut kaum Muslimin, bergema hingga ke tepi-tepi wadi dan menembus hati orang-orang di gunung-gunung sekitar.
Setelah kaum Muslimin bertawaf di Kakbah, Nabi Muhammad memimpin mereka ke bukit Shafa dan Marwa, yang dilalui dari atas kendaraannya sebanyak tujuh kali seperti kebiasaan orang Arab dahulu. Kemudian ternak kurban disembelih dan beliau bercukur. Dengan demikian selesai sudah ibadah umrah itu.
Keesokan harinya, Nabi Muhammad memasuki Kakbah dan tinggal di sana hingga waktu salat Zuhur. Pada waktu itu, berhala-berhala masih banyak memenuhi tempat itu, tetapi Bilal naik ke atap Kakbah dan menyerukan adzan untuk salat Zuhur di tempat tersebut.
Nabi pun menjadi imam bagi dua ribu kaum Muslimin di Rumah Suci itu. Selama tujuh tahun sebelumnya, mereka terhalang melaksanakan salat menurut tuntunan Islam di tempat itu.
Kaum Muslimin tinggal selama tiga hari di Makkah sesuai ketentuan Perjanjian Hudaibiyah, setelah kota itu dikosongkan dari penduduk.
Selama tinggal di sana, kaum Muslimin tidak mengalami gangguan. Kaum Muhajirin memanfaatkan kesempatan untuk menengok rumah-rumah mereka dan mengajak sahabat-sahabat Anshar ikut menengoknya, seolah mereka semua penduduk kota yang aman.
Mereka bertindak menurut tuntunan Islam, setiap hari menjalankan kewajiban kepada Tuhan dengan salat, menghilangkan sikap tinggi diri, saling membantu antara yang kuat dan lemah, yang kaya dan miskin.
Nabi sendiri berada di tengah mereka sebagai ayah penuh cinta yang dicintai, mengajak mereka tertawa dan bergurau.