Senin, Januari 13, 2025
No menu items!

Ceplas-ceplos Gus Miftah, Pejabat Publik Mesti Berperilaku Komunikasi yang Santun

Dai dan pejabat publik merupakan bagian dari makhluk Allah yang mendapat amanah di lingkungannya.

Must Read

JAKARTAMU.COM | Guyonan dai nyentrik yang gemar berkaca mata hitam, Miftah Maulana Habibburahman atau Gus Miftah, yang berisi olok-olok terhadap seorang penjual es teh membuat sejumlah pihak mengkritisinya. Gus Miftah sudah dianggap keblablasan. Gaya komunikasinya yang ceplos-ceplos membuat dirinya kepleset lidah.

Persoalan menjadi panjang karena Gus Miftah selain sebagai dai juga pejabat publik yang digaji negara. Dia adalah Utusan Khusus Presiden Bidang Kerukunan Beragama dan Pembinaan Sarana Keagamaan.

Salah satu yang mengkritisi Gus Miftah adalah Harmonis Ph.D., Ahli Komunikasi dari Universitas Muhammadiyah Jakarta (UMJ).

BACA JUGA: Ahli Komunikasi UMJ Soroti Gus Miftah: Ceplas-ceplos Minus Etika

Harmonis mengatakan, dai dan pejabat publik merupakan bagian dari makhluk Allah yang mendapat amanah di lingkungannya. Mendapat jabatan dan pendapatan serta fasilitas lebih dibanding masyarakat lain pada umumnya.

“Untuk itu, pejabat publik seharusnya menampilkan sikap dan perilaku yang mencerminkan bahwa mereka layak menjadi pejabat publik,” ujar dosen Magister Ilmu Komunikasi Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik UMJ ini.

Di antara yang perlu ditampilkan pejabat publik adalah perilaku komunikasi yang santun, menjadi uswah (contoh dan ikutan) terbaik bagi masyarakat.

Menurutnya, komunikasi politik yang santun, baik pesan dan cara penyampaian ataupun pertukaran pesan, sangat perlu dilakukan oleh pejabat publik.

Hal ini mengingat apa yang dikomunikasikan dalam bentuk ungkapan ataupun bahasa lisan dan body language – bahasa tubuh – dapat menimbulkan efek terhadap dirinya dan pihak lain yang dijadikan sebagai objek dari isi pembicaraan, baik yang bersifat positif maupun negatif.

Pejabat publik hendaknya melakukan proses pemilihan, penyusunan dan memahami makna serta penyampaian kata yang dapat membuat pendengar ataupun pemirsa (listener and viewer) memperoleh informasi yang menyamankan, happy dan menjadi lebih bijak, wisdom dan cerdas dibandingkan dengan sebelumnya.

BACA JUGA: Gus Miftah Minta Maaf: Ingat Kisah Abu Dzar Meminta Diinjak Kepalanya oleh Bilal

Terkait hal ini Harmonis dalam papernya berjudul “Kesantunan Komunikasi Politik Pejabat Publik” menjelaskan masyarakat yang kehidupannya lebih cerdas, baik intelektual, emosional, maupun spiritual, beriringan (sejalan) dengan semangat yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945, yang berbunyi “Mencerdaskan kehidupan bangsa”.

Juga dengan salah satu bait dari lagu Indonesia Raya yang berbunyi “Bangunlah jiwanya, bangunlah badannya untuk Indonesia Raya”.

“Komunikasi politik yang dilakukan oleh pejabat publik seharusnya berupa komunikasi yang santun dalam bingkai nilai-nilai yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 dan Lagu Indonesia Raya itu. Kehidupan lahir dan batin, jiwa dan raga,” ujarnya.

Proses Penjaringan

Menurut Harmonis, dalam konteks kesantunan komunikasi politik pejabat publik, yang perlu dilakukan selain proses recruit (penjaringan) pejabat publik dengan segala kriteria, kualifikasi objektif kualitatif yang ditetapkan, dan oleh tim seleksi (Timsel) yang juga memenuhi kualifikasi yang diharapkan.

Aspek yang tidak kalah lebih penting ialah, kualifikasi kemampuan komunikasi politik yang santun berlandaskan kepada, minimal empat landasan utama, yaitu filosofis, historis, sosiologis, dan yuridis sebuah negara bangsa. Tepatnya Indonesia.

BACA JUGA: Ucapan Tak Pantas Gus Miftah Dikecam Organisasi Pedagang Pasar

Indonesia, lanjut Harmonis, adalah negara yang berfilosofikan Pancasila, di mana salah satu di antara silanya adalah “Ketuhanan Yang Maha Esa”.

Artinya, pejabat publik dinyatakan sebagai seseorang yang melakukan komunikasi politik dengan santun, jika pejabat publik yang bersangkutan dalam melakukan proses penyampaian dan pertukaran pesan yang bersifat politik, selalu berpedoman kepada ajaran yang telah ditetapkan oleh Tuhan Yang Maha Esa berdasarkan kepada agama dan kepercayaan masing-masing.

Dari aspek landasan historis, dia mengingatkan, Indonesia memiliki latar belakang sejarah yang terdiri dari banyak suku bangsa, lebih kurang 300 etnik atau suku bangsa, dan 6 agama yang tersebar di lebih kurang 17.500 pulau. Serta masih banyak lagi perbedaan latar belakang yang lainnya.

Semuanya oleh para pendiri Republik Indonesia dirangkum dalam sebuah kalimat yang berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika”, berbeda-beda namun tetap bersatu.

Ini bermakna bahwa para pendiri republik ini (Indonesia) menyadari betul bahwa yang perlu dicari dan dipahami oleh setiap anak negeri ini adalah persamaan dan bukan perbedaan, karena kita diciptakan oleh Yang Maha Esa (YME) memang fitrahnya sudah berbeda.

BACA JUGA: Presiden Prabowo Lantik Pejabat Serba-Khusus dan Kepala Badan, Ini Jabatan Dahnil

“Untuk apa dicari perbedaan tersebut?” katanya. Contoh, laki-laki menikah dengan perempuan karena ia berbeda, kalau sama, namanya bukan menikah. Namanya LGBT (Lesbi, Guy, Be sex dan Trans Gender).

Artinya, bahwa seorang pejabat publik ketika melakukan komunikasi politik seharusnya benar-benar menyadari bahwa Indonesia adalah negara besar dengan latar belakang sejarah yang sangat heterogen.

Untuk itu, ketika melakukan komunikasi politik sejatinya seorang pejabat publik berada dalam kondisi yang sangat “sadar”, quite awareness, jangan berada di alam bawah sadar (kata Sigmund Freud).

Karena dengan kesadaran yang dimilikinya, khususnya kesadaran tentang historis (sejarah) Indonesia yang Bhinneka Tunggal Ika, seorang pejabat publik akan terhindar dari menyampaikan ataupun mempertukarkan pesan yang dapat menimbulkan kegaduhan dan mungkin juga membuat retak ataupun perpecahan, disintegrasi semangat dan nilai-nilai yang terkandung dalam bahasa Bhinneka Tunggal Ika yang terdapat di bawah kaki lambang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) burung Garuda.

“Indonesia merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan, kolektivitas dan ukhuwah religiusitas serta kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.”

Jika dilihat dari aspek landasan sosiologis, kata Harmonis lagi, Indonesia merupakan negara yang sangat menjunjung tinggi nilai-nilai persaudaraan, kolektivitas dan ukhuwah religiusitas serta kebangsaan dan kenegaraan Indonesia.

Kita orang bersaudara, kata masyarakat Indonesia Timur. Dengan demikian berarti bahwa di Indonesia, setiap orang diharuskan, kalaupun tidak diwajibkan, untuk selalu menjaga tinggi semangat persaudaraan antara yang satu dengan yang lainnya.

Semangat kolektivitas di atas individualitas. Berasaskan kepada landasan filosofis, historis dan sosiologis, maka dibentuk dan terwujud apa yang disebut dengan landasan yuridis.

Artinya, peraturan perundang-undangan yang dibuat dan dijadikan sebagai landasan yuridis terhadap setiap kebijakan ataupun program yang akan dilaksanakan, termasuk juga dengan apa yang akan diucapkan dan dilakukan, tidak berdiri dengan sendirinya, melainkan harus berpedoman kepada landasan yang di atasnya.

Maknanya, setiap peraturan perundang-undangan yang akan dan telah dibuat, langkah pertama yang harus dilakukan oleh para pembuat peraturan perundang-undangan sejatinya adalah memahami dalam artian yang sesungguhnya setiap makna ataupun nilai-nilai dasar yang terkandung dari setiap landasan yang berada di atasnya, yakni landasan filosofis, historis dan sosiologis dari Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).

“Demikian juga halnya dalam konteks kesantunan komunikasi politik para pejabat publik,” kata Harmonis.

Landasan yuridis sejatinya dijadikan sebagai pegangan, apalagi oleh pejabat publik yang sehari-hari berprofesi atau pekerjaannya berkisar di seputar hukum. Diberi amanah untuk menegakkan keadilan dan kebenaran secara arif bijaksana, seperti Komisi Pemberantasan Korupsi atau KPK.

Berpegang teguh kepada setiap peraturan perundang-undangan yang berlaku di sebuah negara, dalam konteks ini di Indonesia, setiap pejabat negara bukan hanya menambah wibawa lembaga yang bersangkutan, melainkan juga secara praktis dan pragmatis untuk kepentingan masa depan karier pejabat yang bersangkutan.

Dan yang lebih penting dari itu adalah untuk kepentingan masyarakat, dengan tanpa memandang SARA; Suku, Agama, Ras dan Antar Golongan, secara keseluruhan.

Menurut Harmonis, di antara peraturan perundang-undangan tersebut adalah UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik) No. 11 Tahun 2008, UU Penyiaran No. 32 Tahun 2002, UU No. 9 Tahun 1981 tentang KUHAP dan Pencemaran Nama Baik, serta Surat Edaran Kapolri No. SE/06/X/2015 tentang Penyebaran Kebencian atau Hate Speech.

Pantulan Sang Surya di Balik Monas

MARS Sang Surya mengiringi Lagu Kebangsaan Indonesia Raya menggema di seputar Lapangan  Monumen Nasional Jakarta,  mengawali pagi pada Minggu...

More Articles Like This