JAKARTAMU.COM | Sutradara, penulis skenario, dan produser film Garin Nugroho mengatakan sejarah selalu mencatat bahwa di setiap era revolusi industri, selalu lahir dua wajah paradoks.
“Di satu sisi, pemimpin mengelola ekosistem media baru semata-mata untuk ambisi kekuasaan pribadi, keluarga, dan oligarki. Namun, di sisi lain, terdapat pula strategi budaya oleh para tokoh bangsa yang bertujuan untuk mengelola nilai-nilai keutamaan bangsa dan menumbuhkan warga negara yang berkualitas,” tutur Garin saat menyampaikan Pidato Kebudayaan bertajuk “Balas Budi untuk Rakyat” di Taman Ismail Marzuki, Jakarta 10 November lalu.
Dia menyebut era Soeharto. Presiden ini mengelola era 2.0-3.0, ditandai dengan era televisi dan budaya pop. Era ini lebih dimanfaatkan untuk memperkuat kekuasaan dan stabilitas politik serta ekonomi.
Baca juga: Garin Nugroho Sebut 10 Tahun Jokowi Hanya sebagai Mandor
Namun, ketika komputer hadir, pemerintahan Soeharto tidak cukup mampu mengontrol berbagai gerakan, terlebih ketika terjadi krisis ekonomi.
Hal ini menunjukkan bahwa kekuasaan yang bersifat banal tidak serta-merta mampu mengelola revolusi teknologi untuk mempertahankan kekuasaan dan mengontrol perlawanan.
Bahkan, teknologi baru membawa cara perlawanan tersendiri terhadap ketidakadilan di setiap periode zaman.
Perumusan Pancasila
Lebih jauh lagi, Garin menuturkan bahwa salah satu momentum berbangsa yang terpenting adalah perumusan Pancasila.
Tokoh-tokoh perumus Pancasila bukanlah hanya semata tokoh politik, melainkan gabungan dari tokoh politik, ahli tata negara, hukum, dan budayawan.
Baca juga: Garin Nugroho: 10 Tahun Kita Diperlakukan sebagai Warganet, Bukan Warga Negara
Mereka adalah Sukarno, Soepomo, dan Muhammad Yamin. Catatan tentang Soepomo dan Sukarno telah banyak ditulis. Walaupun mereka adalah politikus dan ahli tata negara, tetapi mereka juga merupakan pencinta dan pelaku seni serta budaya.
“Saya ingin menggarisbawahi peran Muhammad Yamin yang lahir di Sawahlunto tahun 1903,” katanya.
Menurutnya, Yamin adalah penyair, sastrawan, dan budayawan sekaligus ahli hukum yang menjadi arsitek Sumpah Pemuda dan yang mengajukan Bahasa Melayu sebagai bahasa persatuan. Karya terkenalnya adalah “Tanah Air” (1922), sebuah himpunan puisi berbahasa Melayu.
Dengan kata lain, peran tokoh humaniora sangat penting dalam perumusan dasar negara kita. “Dalam berbagai diskusi, saya sering berseloroh, sekiranya Pancasila belum lahir dan perumusannya dilakukan oleh elite politik saat ini, maka pastilah Pancasila tidak akan lahir seutuhnya seperti sekarang,” katanya.
Elite politik era Joko Widodo tidak cukup memberi ruang bagi tokoh humaniora alias pemimpin budaya yang berfokus pada kualitas manusia untuk menjadi lebih baik.
Baca juga: Garin: Strategi Budaya Tjokroaminoto Mewujudkan Imajinasi Negara Bangsa
Kisah-kisah kecil revolusi industri 1.0-4.0 di atas merujuk pada adanya dua model kepemimpinan yang bertolak belakang.
Pertama, model kepemimpinan yang mengelola ekosistem industri teknologi semata-mata untuk citra dan ambisi kekuasaan diri, keluarga, serta oligarki.
Model ini ditandai dengan politik citra, otoriter, manipulasi, dan propaganda, baik fisik maupun simbolik.
Di sisi lain, ada kepemimpinan yang unggul dengan kekuatan imajinasi untuk menuju masa depan yang lebih baik bagi bangsa. Pemimpin seperti ini memiliki visi, keberanian, dan pengorbanan, serta mampu berkoalisi dengan rakyat untuk mewujudkan cita-cita bangsa.
Baca juga: Garin: Saatnya Kebudayaan Menjadi Panglima Bersama Ekonomi dan Politik