Forza Gamawijaya!
Cerbung: Dwi Taufan Hidayat
Pagi itu, embusan angin dari pesisir selatan membawa aroma tanah basah dan garam laut. Hutan di sekitar Urut Sewu masih berdiri kokoh, menyimpan jejak-jejak perlawanan yang telah berlalu. Namun, kisah tentang Gamawijaya belum benar-benar usai.
Di tengah rerimbunan pohon, seorang lelaki tua berdiri memandangi sebuah makam sederhana. Batu nisan itu tak bertuliskan nama, hanya sebaris kalimat yang samar terukir di permukaannya:
“Ora bakal ana pati ing lakuning wani”
(Tidak ada kematian bagi mereka yang berjalan dengan keberanian.)
Lelaki itu adalah Sanggabumi, salah satu murid terakhir Gamawijaya yang masih hidup. Rambutnya telah memutih, tubuhnya tak lagi sekekar dulu, tetapi matanya masih menyala dengan semangat yang sama seperti ketika ia pertama kali mengangkat senjata untuk rakyatnya.
Di belakangnya, beberapa pemuda dari desa-desa sekitar berkumpul, mendengarkan kisah yang telah diceritakan turun-temurun.
“Gamawijaya memang telah tiada,” ujar Sanggabumi. “Tetapi semangatnya tidak pernah mati. Ia bukan hanya seorang pejuang, tetapi simbol dari perlawanan kita terhadap ketidakadilan.”
Seorang pemuda bernama Jatiraga maju selangkah. “Kami ingin melanjutkan perjuangannya, Eyang. Kami tak ingin tanah ini kembali dikuasai oleh mereka yang hanya mementingkan kekuasaan.”
Sanggabumi tersenyum tipis. “Perlawanan bukan hanya tentang mengangkat senjata, tetapi juga menjaga warisan, melindungi rakyat, dan memastikan tanah ini tetap menjadi milik kita. Gamawijaya berjuang bukan demi dirinya sendiri, tetapi demi kalian, cucu-cucunya yang belum lahir pada masanya.”
Para pemuda mengangguk. Mereka tahu bahwa perjuangan Gamawijaya tidak hanya soal pertempuran di medan perang, tetapi juga bagaimana rakyat mempertahankan hak mereka dalam kehidupan sehari-hari.
Legenda yang Tak Pernah Mati
Di pasar-pasar, di surau-surau kecil, dan di antara perbincangan rakyat, kisah Gamawijaya terus diceritakan.
Anak-anak kecil tumbuh dengan mendengar dongeng tentang Mbah Begal, sang pejuang yang tak pernah menyerah. Para orang tua masih mengenang bagaimana ia melawan para penindas tanpa takut mati.
Bagi pemerintah kolonial dan mereka yang berkuasa, nama Gamawijaya adalah momok yang terus menghantui. Ia adalah bukti bahwa tak selamanya penguasa bisa membungkam perlawanan rakyat.
Setiap kali ada penindasan baru, rakyat Ambal selalu berbisik di antara mereka:
“Forza Gamawijaya!”
Dan dengan itu, perlawanan selalu menemukan jalannya sendiri.
Penutup: Warisan di Tanah Leluhur
Tahun-tahun berlalu. Belanda akhirnya meninggalkan Nusantara. Tetapi semangat perjuangan Gamawijaya tetap berakar di tanah Urut Sewu.
Di suatu senja, seorang penulis muda dari Ambal duduk di bawah pohon randu tua, menuliskan kembali kisah Gamawijaya dalam lembaran kertas usang.
Ia tahu bahwa suatu hari nanti, dunia mungkin akan berubah, tetapi legenda ini harus tetap hidup.
Karena di setiap generasi, selalu ada seorang Gamawijaya baru yang akan bangkit untuk memperjuangkan keadilan.
Dan selama rakyat masih memiliki keberanian untuk melawan, selama itulah semangat Gamawijaya tidak akan pernah mati.
“Forza Gamawijaya!”
Tamat