Sudah tujuh kali aku mudik naik motor dari Jakarta ke Tegal. Tahun ini yang kedelapan, tapi kali ini berbeda: aku membawa istri dan anak.
Laras, istriku, awalnya ragu. “Kamu yakin? Bawa anak umur dua tahun sejauh itu?” Aku meyakinkannya, seperti biasa. “Kita berhenti kalau capek. Santai saja.”
Kami berangkat selepas subuh, saat udara masih sejuk. Anak kami, Dafa, duduk di antara aku dan Laras, terikat erat dalam gendongan. Ransel besar berisi baju dan bekal tergantung di depan, menambah beban yang sudah berat.
Keluar Jakarta, jalanan masih lengang. Tapi begitu masuk Karawang, lalu lintas mulai padat. Aku fokus, sesekali melirik spion, memastikan Laras masih baik-baik saja. “Mas, pelan-pelan,” katanya sambil memegang pinggangku erat.
Setiap kali melewati pom bensin atau minimarket, aku bertanya, “Mau istirahat?” Tapi Laras menggeleng. “Nanti saja kalau Dafa bangun.”
Namun, tak lama setelah melewati Cikampek, Laras menepuk pundakku. “Mas, berhenti. Dafa muntah!”
Aku segera menepi di sebuah warung. Laras buru-buru turun, membuka jaket, dan membersihkan muntah Dafa dengan tisu basah. Wajah anakku pucat. Dadaku berdegup cemas. “Kita istirahat lebih lama di rest area nanti,” kataku.
Kami melanjutkan perjalanan. Setelah tiga jam di jalan, aku melihat rest area kecil di pinggir jalan. Ada masjid, warung, dan tempat duduk beratap bambu. Kami segera masuk, mencari tempat teduh.
Dafa masih tampak lemas. Aku membeli teh hangat dan bubur ayam, berharap bisa membuatnya lebih baik. Laras duduk bersandar, matanya memejam sebentar. Aku tahu dia juga kelelahan.
“Mas,” katanya pelan, “mungkin kita terlalu buru-buru. Dafa nggak biasa naik motor jauh.”
Aku menghela napas. “Kalau kita nginap di mana?”
Laras tersenyum kecil. “Di rumah Mbah sebentar lagi, kan?”
Aku mengangguk, meski dalam hati ragu. Perjalanan masih jauh.
Setelah istirahat satu jam, kami kembali ke jalan. Matahari mulai terik. Angin panas menerpa wajah. Aku merasa tubuhku mulai letih, tapi harus tetap fokus.
Tiba-tiba, di tengah perjalanan menuju Brebes, hujan turun deras. Aku mencari tempat berteduh di bawah pohon besar, bersama beberapa pemudik lain. Laras mengancingkan jaket Dafa rapat-rapat, berusaha melindunginya dari dingin.
“Dafa kedinginan, Mas,” katanya cemas.
Aku menggigit bibir. Hujan tak kunjung reda. Waktu terus berjalan. Aku menatap wajah Dafa yang tertidur dalam dekapan ibunya. Aku merasa bersalah.
Setelah satu jam, hujan mereda. Kami melanjutkan perjalanan dengan tubuh basah kuyup.
Memasuki Kota Tegal, langit mulai gelap. Motor kami masuk ke jalan kampung. Aku tersenyum lega ketika melihat rumah Mbah di ujung gang. Lampu teras menyala, dan suara takbir berkumandang dari masjid dekat rumah.
Mbah menyambut kami dengan mata berkaca-kaca. “Dafa kasihan, kedinginan,” katanya sambil mengusap kepala cucunya.
Laras segera mengganti baju Dafa dan menyelimuti tubuhnya. Aku duduk di kursi kayu, merasa tubuhku remuk tapi hatiku lega.
Malam itu, setelah Dafa tertidur nyenyak, Laras menatapku dengan senyum kecil. “Lain kali, naik mobil atau kereta, ya?”
Aku tertawa kecil. “Iya, kita sudah cukup berpetualang tahun ini.”
Laras menggeleng pelan. “Bukan itu, Mas. Aku tadi hampir bilang kita berhenti di rest area saja, cari penginapan. Tapi aku lihat kamu terus semangat. Aku pikir… kalau kita lelah, kita berhenti. Kalau kita ragu, kita lanjut. Sama seperti hidup, ya?”
Aku memandangnya, lalu menggenggam tangannya. “Iya, dan satu lagi,” kataku.
“Apa?”
“Kita pulang bertiga, tapi tahun depan mungkin pulang berempat.”
Laras terdiam, lalu tertawa kecil. “Serius?”
Aku mengangguk. “Selamat mudik, Bu Ibu.”
Dan kami pun tersenyum, di bawah langit Tegal yang mulai cerah kembali.