SAAT malam lengang menutup luka,
kulihat hidupku hanyalah sisa rahmat-Nya.
Dosa-dosa seharusnya berbau busuk nan pekat,
tapi tertutup rapi oleh kasih yang tak tampak.
Kalau bukan karena Allah Maha Menjaga,
barangkali tak satu pun yang sudi duduk bersama.
Aibku ibarat cermin retak disapu oleh cahaya,
hingga aku tampak baik meski jauh dari mulia.
Dialah Al-Hafizh, yang menjaga tiap niat dan laku,
menyelamatkanku bahkan saat ku tak tahu.
Ketika maksiat tinggal sejengkal,
Tangan-Nya menarikku kembali ke akal.
Ada malam yang membangunkanku tanpa sebab,
ada tangis yang jatuh justru ketika hati mendadak segar.
Tak hendak tahajud, tapi ku berdiri dalam sadar—
itulah cinta-Nya yang membisik tanpa getar.
Rezeki tak tahu arah, tapi ia tahu langkahku,
masalah datang bukan untuk meruntuh,
melainkan memanggilku tuk bersimpuh,
mengaku lemah di hadapan Yang Maha Tumbuh.
Tak semua nikmat berarti rida,
ada istidraj yang menjebak dalam euforia.
Saat dosa dilapisi emas dan pujian,
tanpa sadar jiwa diseret menuju kehancuran.
Lebih baik dihina namun tetap di jalan-Nya,
daripada dipuja namun jauh dari rida-Nya.
Lebih baik diuji dan terus mengadu,
daripada diberi lalu lupa siapa Tuhanku.
Jika langkahku berat menuju maksiat,
dan ringan kaki ini saat berbuat taat,
itulah bukti cinta yang nyata—
Allah tak ingin aku binasa.
Maka kupeluk hidayah meski sering terlepas,
kupeluk doa meski kadang tanpa jelas.
Aku tahu,
selama ku bergantung pada-Mu,
tiada ujian yang benar-benar menyakitkan,
hanya jalan pulang yang Kau permudahkan.