PERJALANAN jauh di jalan tol kerap membuat mata lelah dan tubuh penat. Para pengemudi disarankan untuk beristirahat setiap 3–4 jam sekali di rest area. Selain untuk melaksanakan salat dengan jamak atau qashar sesuai kebutuhan musafir, istirahat ini juga menjadi waktu yang tepat untuk menyegarkan diri dengan secangkir kopi.
Ada satu tempat yang menarik yang bisa menyediakan keduanya, yaitu Masjid BSI yang terletak di Rest Area KM 166 Tol Cikopo–Palimanan (Cipali). Di teras masjid, tepat di depan pintu gerbang menuju ruang utama salat, terdapat sebuah kedai kopi sederhana. Di sana, para pengunjung bisa menikmati kopi seduh hangat atau membeli bubuk kopi asli Majalengka sebagai oleh-oleh.
Sekilas, keberadaan kedai kopi ini mungkin menimbulkan pertanyaan: bukankah masjid adalah tempat ibadah yang tidak diperbolehkan untuk kegiatan jual beli? Lalu, bagaimana kedai ini bisa beroperasi di area masjid?
Pertanyaan ini membawa kita pada perbincangan menarik mengenai batas-batas area masjid dan hukum berdagang di dalamnya. Sebagian ulama, seperti Al-Hafizh Ibnu Hajar Al-‘Asqalani rahimahullah, menyatakan bahwa hukum serambi dan area yang berdekatan dengan serambi masjid tetap mengikuti hukum masjid.
Dalam Fathul Bari, Ibnu Hajar menjelaskan bahwa Nabi Muhammad SAW pernah memerintahkan seseorang yang tercium bau tak sedap (seperti bawang putih) di dalam masjid untuk keluar menuju Baqi’, menunjukkan area masjid mencakup lebih dari sekadar ruang salat utama.
Demikian pula, hadits yang diriwayatkan Bukhari mencatat peristiwa Umar bin Khaththab melihat kain sutra dijual di dekat pintu masjid, lalu menyarankan Nabi agar membelinya untuk dikenakan saat Jumat atau saat menerima tamu. Rasulullah menolak dengan menyatakan bahwa yang mengenakan kain seperti itu adalah orang yang tidak mendapatkan bagian di akhirat, yang menunjukkan ketegasan tentang sikap terhadap jual beli yang berkaitan dengan masjid.
Namun, kedai kopi di Masjid BSI punya pendekatan berbeda. Meskipun tampak seperti menjual kopi, mereka tidak menggunakan akad jual beli konvensional. Para pengunjung yang menginginkan secangkir kopi cukup memberikan donasi, misalnya Rp10.000, dan mereka akan mendapatkan satu gelas kopi seduh hangat sebagai bentuk apresiasi. Tidak ada label harga resmi, tidak ada kewajiban pembayaran tertentu. Semuanya berbasis donasi sukarela.
Sistem ini layak dicermati. Di satu sisi, pengelola masjid tetap menjaga etika dan hukum syariah terkait larangan berjual beli di area masjid. Di sisi lain, mereka mampu menghimpun dana operasional tambahan secara santun dan elegan.
“Donasi bonus ngopi” ini tentu saja sebuah terobosan yang menjembatani kebutuhan finansial masjid dengan semangat menjaga kesucian ruang ibadah. Sementara bagi musafir yang singgah, tak hanya tubuh yang disegarkan, tapi juga semangat spiritual yang diperbarui dengan secangkir kopi sebagai pengantar jeda. (*)