Rabu, Mei 21, 2025
No menu items!
spot_img

Hukum Badal Haji Menurut Pandangan Muhammadiyah dan NU

Must Read

IBADAH haji merupakan rukun Islam kelima. Haji diwajibkan bagi setiap Muslim yang telah memenuhi syarat, yakni Islam, baligh, berakal, merdeka, dan mampu secara fisik maupun finansial. Namun bagaimana jika seseorang telah memenuhi syarat, tetapi terhalang oleh sakit berat atau telah meninggal dunia sebelum sempat menunaikan ibadah haji?

Di sinilah konsep badal haji, atau haji pengganti. Praktik ini didasarkan pada sejumlah hadis, di antaranya riwayat Ibnu Abbas tentang seorang perempuan dari suku Khas’am yang meminta izin kepada Rasulullah SAW untuk menghajikan ayahnya lantaran yang sudah renta dan tidak mampu naik kendaraan. Rasulullah SAW membolehkannya, sehingga hadis ini menjadi pijakan utama kebolehan badal haji.

Pandangan Majelis Tarjih Muhammadiyah

Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah memandang badal haji sebagai sesuatu yang diperbolehkan, dengan syarat-syarat yang ketat. Seseorang yang akan menghajikan orang lain harus sudah menunaikan haji untuk dirinya sendiri.

Badal haji hanya boleh dilakukan untuk orang yang benar-benar tidak mampu secara fisik, baik karena sakit berat yang tidak diharapkan sembuh maupun telah meninggal dunia. Biaya pelaksanaan haji pun harus berasal dari orang yang digantikan, atau ditanggung ahli waris.

Muhammadiyah menekankan pentingnya niat yang jelas, yakni ihram dilakukan atas nama orang yang digantikan. Muhammadiyah menekankan pentingnya kehati-hatian (ihtiyat) dalam ibadah mahdhah seperti haji, yang bersifat personal dan idealnya tidak dapat diwakilkan.

Pandangan Lajnah Bahtsul Masa’il NU

Lajnah Bahtsul Masa’il Nahdlatul Ulama (NU) juga membolehkan badal haji. Bahkan tidak ada batasan soal siapa yang boleh menjadi pelaksana badal haji. Seseorang dapat menghajikan orang lain meskipun bukan dari keluarga, asalkan telah melaksanakan haji untuk dirinya sendiri dan memenuhi syarat-syarat yang telah ditentukan.

Rujukan NU adalah pendapat mayoritas ulama klasik dan hadis-hadis sahih yang mendukung praktik ini. NU cenderung lebih fleksibel dalam menentukan siapa yang berhak menjadi pelaksana badal haji, selama syarat-syarat utama terpenuhi.

Meski demikian,  baik Muhammadiyah maupun NU sepakat pada beberapa syarat pokok badal haji.  Orang yang membadalkan haji harus muslim, baligh, berakal, dan telah berhaji untuk dirinya sendiri. Badal haji hanya untuk orang yang benar-benar tidak mampu secara fisik atau telah wafat. Niat ihram harus jelas atas nama orang yang digantikan. Biaya ditanggung pihak yang digantikan atau ahli warisnya. Satu orang hanya boleh membadalkan haji untuk satu orang dalam satu musim haji.

Perdebatan tentang badal haji mencerminkan dinamika pemikiran Islam yang selalu berupaya menjawab kebutuhan umat di tengah perubahan zaman. Baik Muhammadiyah maupun NU, keduanya berangkat dari semangat untuk memudahkan umat Islam dalam menunaikan kewajiban agama, tanpa mengabaikan prinsip kehati-hatian dan kepatuhan pada tuntunan syariat.

Badal haji menjadi solusi bagi mereka yang terhalang menunaikan rukun Islam kelima, selama dijalankan dengan penuh tanggung jawab dan keikhlasan.

Transformasi RSIJ Pondok Kopi Menjawab Perubahan Zaman

JAKARTAMU.COM | Rumah Sakit Islam Jakarta (RSIJ) Pondok Kopi terus berbenah. Sejumlah langkah strategis pengembangan layanan dan infrastruktur dijalankan...
spot_img
spot_img
spot_img

More Articles Like This