Senin, Mei 12, 2025
No menu items!

Istri Syeikh Ibnu Hajar (6) Tamu Malam

Must Read

Oleh: Sugiyati

Malam turun dengan sunyi yang mencekam. Udara Makkah yang biasanya hangat terasa lebih dingin dari biasanya.

Istri Syeikh Ibnu Hajar duduk di sudut ruangan, pikirannya melayang-layang. Dinar itu kini ada di tangan suaminya, dan meskipun ia belum mengakuinya secara langsung, ia tahu bahwa Syeikh memahami lebih dari yang ia perlihatkan.

Bayangan kata-kata Syeikh tadi siang masih menghantuinya:

“Allah tidak butuh pengakuan kita. Dia sudah tahu segalanya.”

Ia menggigit bibirnya. Bagaimana jika suaminya meninggalkannya? Bagaimana jika ia telah merusak segalanya?

DUK! DUK!

Tiba-tiba, suara ketukan keras menggema di pintu rumah.

Ia tersentak.

Jarang ada tamu yang datang larut malam seperti ini.

Syeikh, yang tengah berzikir di sudut ruangan, bangkit perlahan dan berjalan menuju pintu. Sang istri menatapnya dengan waswas.

Saat pintu terbuka, sosok tinggi berdiri di ambang pintu, tersenyum tipis.

Istri Imam Ar-Ramli.

Pakaian mewahnya berkilau di bawah cahaya lentera, kain sutra yang membalut tubuhnya tampak kontras dengan kesederhanaan rumah mereka. Wajahnya tersenyum, tetapi matanya menyimpan sesuatu yang sulit ditebak.

“Assalamu’alaikum,” ucapnya dengan nada yang manis namun dingin.

“Wa’alaikumussalam,” jawab Syeikh dengan datar.

Tanpa menunggu undangan, wanita itu melangkah masuk, seolah-olah rumah ini adalah tempat yang biasa ia kunjungi.

Sang istri menegang.

“Apa yang membawamu kemari?” tanya Syeikh, suaranya tetap tenang, tetapi ada ketegasan di dalamnya.

Istri Imam Ar-Ramli tersenyum simpul, lalu mengedarkan pandangannya ke sekeliling ruangan. “Rumah ini… masih sama seperti dulu.”

Tidak ada yang menjawab.

Ia lalu berbalik menghadap sang istri.

“Aku datang untuk berbincang,” katanya lembut, tetapi dengan sorot mata menusuk.

Syeikh menghela napas. “Jika ada yang ingin kau bicarakan, silakan.”

Wanita itu mengangkat alisnya, lalu tersenyum kecil.

“Aku lebih suka berbicara dengan istrimu saja.”

Keheningan merayap.

Syeikh menatap istrinya sejenak, lalu mengangguk kecil sebelum beranjak ke ruangan lain.

Kini, hanya ada mereka berdua.

Istri Syeikh menegakkan punggungnya, berusaha menahan rasa gugup yang menguasainya.

“Apa yang kau inginkan?” tanyanya pelan.

Istri Imam Ar-Ramli tersenyum tipis. “Aku hanya ingin menanyakan sesuatu.”

Ia melangkah lebih dekat, lalu menundukkan suara, hampir berbisik.

“Aku tahu apa yang kau sembunyikan.”

Sang istri merasakan darahnya berhenti mengalir.

“Apa maksudmu?”

Wanita itu tertawa kecil. “Jangan berpura-pura. Aku tahu kau mengambil dinar itu.”

Jantungnya berdetak kencang.

Istri Imam Ar-Ramli melangkah lebih dekat, membiarkan wangi parfum mahalnya menyelimuti udara.

“Dan aku tahu kau takut Syeikh akan mengetahuinya.”

Sang istri menggigit bibirnya. “Apa yang kau inginkan?”

Wanita itu menyeringai, lalu mengeluarkan secarik kertas dari balik selendangnya.

“Kau bisa menyelamatkan dirimu,” katanya sambil menyodorkan kertas itu.

Sang istri menatapnya curiga.

“Apa ini?”

“Surat perjanjian.”

Ia membuka gulungan kertas itu dan membaca isinya.

Aku bersedia memberikan informasi tentang sumur Zamzam kepada Istri Imam Ar-Ramli sebagai ganti jaminan bahwa ia tidak akan membuka rahasiaku kepada siapa pun.

Tangan sang istri bergetar.

“Kau ingin aku menandatangani ini?” bisiknya, hampir tak percaya.

Wanita itu tersenyum penuh kemenangan. “Kau tidak punya pilihan lain.”

Sang istri menatap kertas itu, lalu kembali menatap wanita di hadapannya.

Di dalam hatinya, perang mulai berkecamuk.

Jika ia menolak, maka rahasianya bisa terbongkar.

Tetapi jika ia menerima…

Ia akan mengkhianati suaminya.

Mata istri Imam Ar-Ramli berkilat dalam cahaya lentera.

“Kau hanya perlu menuliskan namamu di sini,” katanya sambil menyodorkan pena.

Keheningan merayap.

Jari-jari sang istri melayang di atas kertas.

Darahnya terasa berdesir.

Jika ia mengambil langkah ini, maka tidak akan ada jalan kembali.

Tiba-tiba…

Sebuah suara lembut memecah keheningan.

“Apakah kau butuh pertolongan?”

Sang istri tersentak.

Syeikh Ibnu Hajar berdiri di ambang pintu, menatap mereka dengan ekspresi yang sulit ditebak.

Mata Istri Imam Ar-Ramli melebar, lalu dengan cepat ia menyembunyikan kertas itu di balik lengan bajunya.

“Oh, tidak ada apa-apa,” katanya cepat, suaranya tetap tenang. “Aku hanya berbincang dengan istrimu.”

Syeikh melangkah maju.

“Bincang tentang apa?”

Wanita itu tersenyum. “Tentang kehidupan.”

Syeikh tidak membalas. Tatapannya beralih ke istrinya, seolah bertanya apakah itu benar.

Tetapi sang istri terlalu bingung untuk menjawab.

Akhirnya, Istri Imam Ar-Ramli tersenyum, lalu berkata, “Aku harus pergi.”

Ia berbalik, berjalan anggun menuju pintu. Tetapi sebelum ia pergi, ia sempat berbisik ke telinga sang istri:

“Kau tahu di mana mencariku.”

Lalu, ia melangkah keluar, meninggalkan keheningan yang lebih dingin dari angin malam.

Syeikh masih menatap istrinya, seolah menunggu jawaban.

Tetapi sang istri tetap diam.

Di tangannya, pena yang tadi disodorkan masih bergetar.

Dan di dalam hatinya, pertarungan baru saja dimulai.

(Bersambung ke Seri 6 – Surat dan Rahasia)

Jalan Menuju Surga

DI pelataran waktu yang fana, Kita tapaki jejak mulia, Menabur harap dalam doa, Menuju surga yang tak ternilai harganya. Surga bukan mimpi sunyi, Ia...
spot_img
spot_img

More Articles Like This