JAKARTAMU.COM | Banyak orang menghafal sejarah proklamasi 17 Agustus 1945 layaknya daftar tanggal dan nama tokoh. Fakta demi fakta dihafal, tapi maknanya dibiarkan beku. Padahal, jika kemerdekaan hanya dipahami sebagai rangkaian peristiwa tanpa tafsir, bukankah itu cara paling pelan untuk mengubur sejarah itu sendiri?
Sejarah kemerdekaan bukan sekadar “apa”, “kapan”, dan “bagaimana” peristiwa itu terjadi. Pertanyaan yang jauh lebih penting adalah “mengapa”. Di sanalah sejarah bernapas, tidak berhenti pada kronologi, tidak tunduk pada rumus pasti, dan selalu terbuka untuk ditafsir ulang.
Politik Etis awal abad ke-20 memang lahir untuk melayani kebutuhan kolonial: mencetak tenaga terdidik bagi Belanda. Namun, tanpa sengaja ia melahirkan kelas intelektual dan organisator yang mampu merumuskan cita-cita berbangsa, berbahasa, dan bertanah air Indonesia. Kemerdekaan tumbuh di tengah kemiskinan lahir-batin, bentangan buta huruf yang luas, kesehatan rakyat yang memprihatinkan, serta cengkeraman feodalisme yang tidak mengenal demokrasi.
Cukupkah semua itu dijawab dengan jawaban normatif dan romantis? Bahwa kemerdekaan hanyalah “jembatan emas” menuju masa depan?
Kisah lahirnya Indonesia sudah berulang kali ditulis. Dari renungan Kartini, kelulusan Agus Salim di HBS Batavia, lahirnya Budi Utomo, Sarekat Islam, Sosial-Demokrat yang menjelma menjadi Perserikatan Komunis Hindia Belanda, hingga Sumpah Pemuda 1928. Lalu gelombang itu dihantam pemberangusan politik pasca pemberontakan PKI 1926 di Jawa dan Sumatra, sebelum kembali berkibar di bawah PNI pimpinan Sukarno pada 1930-an. Naik-turunnya gelombang perjuangan itu membuka ruang perdebatan: dari tesis, antitesis, hingga harapan akan sintesis atas pertanyaan besar—mengapa kita harus merdeka?
Para sejarawan pun berbeda pandangan tentang periode 1945–1950: ada yang menekankan perang dan diplomasi, ada yang mempertanyakan makna kemerdekaan di tengah realitas sosial saat itu. Bahkan hingga kini, kemerdekaan kerap dirasa sebagai janji yang belum ditepati. Cinta tak berbalas antara negara dan rakyatnya.
Fakta bahwa bumi, air, dan kekayaan alam masih dikuasai modal asing sulit dibantah. Tuduhan bahwa kedaulatan kita tinggal selembar pasal konstitusi yang telah mati terasa kian masuk akal. Ketergantungan pada utang luar negeri, lemahnya daya tawar politik, dan derasnya penetrasi budaya impor menegaskan pepatah getir: asu gede menang kerahe.
Maka, benarkah kita merdeka? Jangan-jangan proklamasi hanyalah lembaran tua yang terombang-ambing seperti debu dibawa angin.
Merayakan kemerdekaan tidak cukup dengan upacara bendera atau panggung kolosal mengenang proklamasi delapan dekade silam. Kemerdekaan butuh peneguhan empat cita bernegara: persatuan, perlindungan tanah air, kecerdasan bangsa, kesejahteraan rakyat, dan perdamaian dunia.
Bila kerakusan meniadakan gerakan anti-penjajahan, bila oligarki menguasai politik dan ekonomi, bila kepolisian menjadi alat kekuasaan, bila militer kembali mengatur sipil—maka kemerdekaan hanyalah omon-omon di siang bolong. (*)