Di antara mereka yang tewas adalah tiga saudara kandung yaitu Suhail Ramez al-Souri (14), Julie Ramez al-Souri (12) dan Majd Ramez al-Souri (10). Ayah mereka yang patah hati menceritakan momentum anak-anaknya terbunuh saat mencari perlindungan di dalam gereja.
“Kami pikir ini adalah tempat berlindung kami yang aman,” katanya sambil menangis, “Tempat berlindung terakhir kami, di rumah Tuhan.”
“Mereka mengebom malaikat-malaikatku tanpa peringatan. Mereka membunuh anak-anak kami, anak-anak sepupu, saudara-saudara,” kaya ayah yang berduka itu.
2.949 Anak Usia SMA (15 -17 Tahun)
Anak-anak ini telah melalui empat perang (2008-09, 2012, 2014, 2021), dan siap untuk melangkah ke dunia nyata. Namun kenyataan sesungguhnya, mereka harus meninggalkan mimpi kemerdekaan dan cita-cita masa depan yang tidak pernah terwujud.
Itu pula yang menimpa Mahmoud, seorang anak Gaza ingin menjadi jurnalis seperti ayahnya. Bertekad untuk berbagi kisah tentang tanah airnya dengan dunia, remaja berusia 15 tahun itu mulai merekam video yang mendokumentasikan dampak meningkatnya kekerasan Israel di Gaza bersama bersama saudara perempuannya, Khuloud.
“Di Gaza, tidak ada tempat yang aman… ini adalah perang [paling ganas] dan paling kejam yang pernah kami alami di Gaza. Bantu kami agar tetap hidup,” kata dua remaja itu dalam sebuah rekaman.
Pada malam 25 Oktober 2023, Mahmoud tewas, bersama ibunya, saudara perempuannya yang berusia tujuh tahun, Sham, keponakannya yang berusia satu setengah tahun, Adam, dan 21 orang lainnya akibat serangan udara Israel di kamp Nuseirat. Mereka ke kamp tersebut setelah tentara Israel memerintahkan pindah ke selatan demi keselamatan mereka.
Kisah anak-anak seperti Mohammed, Reem, Hind, tiga bersaudara al-Souri, dan Mahmoud mencerminkan masa kecil Gaza yang dicuri, yang tak terhitung jumlahnya. Kisah yang meninggalkan kenangan akan kepolosan dan masa depan yang tidak pernah terwujud. (*)