MEDIA sosial telah menjadi bagian yang tak terpisahkan dari kehidupan sehari-hari. Hampir setiap detik, miliaran manusia di penjuru dunia menatap layar, mengetik, menggulir, menyukai, membagikan. Tapiada satu kenyataan yang tak bisa dihindari, apakah setiap postingan, komentar, dan pesan yang kita sebarkan akan kembali sebagai amal atau dosa jariah.
Islam sebagai agama rahmatan lil ‘alamin tidak pernah luput dalam memberi panduan. Termasuk dalam perkara yang sangat kontemporer sekalipun seperti penggunaan media sosial. Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam pernah bersabda:
وَإِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ، مَا يَظُنُّ أَنْ تَبْلُغَ مَا بَلَغَتْ، يَكْتُبُ اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا سَخَطَهُ إِلَى يَوْمِ يَلْقَاهُ
“Sesungguhnya seseorang benar-benar mengucapkan suatu perkataan yang menyebabkan murka Allah, padahal dia tidak menganggapnya berat, maka Allah mencatat murka-Nya atas orang itu hingga hari ia bertemu dengan-Nya.” (HR. At-Tirmidzi, no. 2319)
Di balik setiap sentuhan jari, ada konsekuensi ukhrawi. Selembar status bernada sinis, komentar penuh kebencian, atau unggahan yang menyesatkan bisa menjadi sebab murka Allah. Dan parahnya, jejak digital tak mudah terhapus. Ia bisa tersebar tanpa batas, dibaca oleh banyak orang, lalu terus mengalirkan dosa meski kita telah tiada.
Sebaliknya, media sosial juga bisa menjadi ladang amal jariah yang subur. Seperti mengajak kebaikan, menyebarkan ilmu, atau sekadar menuliskan kalimat yang menguatkan hati orang lain. Firman Allah dalam Surah An-Nahl ayat 125:
ادْعُ إِلِىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ ۖ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhanmu dengan hikmah dan pelajaran yang baik, dan bantahlah mereka dengan cara yang lebih baik.” (QS. An-Nahl: 125)
Allah mengajarkan bahwa dalam berdakwah, termasuk di ruang maya, harus dengan hikmah (kebijaksanaan), dengan kelembutan, bukan dengan kata-kata kasar atau merendahkan. Maka setiap unggahan yang mengandung nasihat baik, kutipan ayat, hadis, atau pengingat yang tulus bisa menjadi benih pahala yang terus tumbuh. Bahkan Rasulullah shallallāhu ‘alaihi wa sallam menjelaskan:
مَنْ دَلَّ عَلَى خَيْرٍ فَلَهُ مِثْلُ أَجْرِ فَاعِلِهِ
“Barang siapa yang menunjukkan kepada kebaikan, maka ia mendapatkan pahala seperti orang yang mengerjakannya.” (HR. Muslim, no. 1893)
Dengan kata lain, jika kita membagikan sesuatu yang membuat orang lain mendekat pada kebaikan, kita pun akan mendapatkan bagian dari pahala itu. Tanpa mengurangi pahala si pelaku. Maka media sosial bisa jadi mesin pahala yang tak pernah berhenti bekerja—selama konten yang kita sebarkan adalah kebaikan.
Namun, hati-hatilah, karena sabda Rasulullah juga mengingatkan:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ، مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا، يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ
“Sesungguhnya seseorang benar-benar mengucapkan suatu kata tanpa ia pikirkan dampaknya, ternyata dia terjatuh karena sebab kata itu ke dalam neraka yang jauhnya lebih jauh daripada timur dan barat.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Maka, berhati-hatilah. Jangan sampai karena satu tweet yang menyakiti, satu story yang menyesatkan, atau satu komentar yang merendahkan, kita harus menanggung dosa yang terus mengalir.
Media sosial adalah ruang tanpa batas. Namun bukan berarti tanpa batas pula tanggung jawab kita di dalamnya. Di akhirat kelak, semua akan dihisab. Allah berfirman dalam Surah Qaf ayat 18:
مَا يَلْفِظُ مِنْ قَوْلٍ إِلَّا لَدَيْهِ رَقِيبٌ عَتِيدٌ
“Tiada suatu ucapan pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu hadir.” (QS. Qaf: 18)
Setiap caption, setiap komentar, setiap reaksi, bahkan niat yang tersembunyi dalam hati—semuanya dicatat. Maka jangan sampai kita meremehkan apa yang kita tulis atau bagikan. Sebab satu kata bisa jadi pembeda antara surga dan neraka.
Lalu, bagaimana agar media sosial kita menjadi amal jariah, bukan dosa jariah?
Pertama, niatkan semua aktivitas digital kita karena Allah. Bukan untuk pamer, mencari validasi, atau menjatuhkan orang lain.
Kedua, pikirkan dampak setiap konten sebelum dibagikan. Tanyakan pada diri sendiri: apakah ini bermanfaat? Apakah ini akan menginspirasi atau malah menjerumuskan?
Ketiga, hindari ghibah, fitnah, caci maki, dan hoaks. Semua itu termasuk dosa besar yang bisa menghapus pahala kita tanpa disadari.
Keempat, gunakan media sosial untuk menguatkan ukhuwah, menyebarkan ilmu, dan memperluas kebaikan. Jadilah sebab orang lain mengenal Allah dan Rasul-Nya.
Dan terakhir, jangan berhenti memperbaiki diri. Media sosial kita adalah cermin hati kita. Jika banyak hal buruk yang keluar darinya, mungkin kita perlu mengevaluasi kondisi jiwa kita.
Akhirnya, kita harus menyadari bahwa media sosial bukan hanya sekadar alat komunikasi, tapi juga lahan amal. Kita bisa menggunakannya untuk menanam benih pahala yang terus tumbuh meski kita telah tiada. Atau sebaliknya, kita bisa menjadikannya sebab azab yang tak kunjung henti.
Semoga Allah menjadikan kita termasuk hamba-Nya yang bijak dalam bermedia sosial. Yang mampu menjaga lisan dan tulisan. Yang sadar bahwa semua akan dimintai pertanggungjawaban. Dan semoga setiap postingan kita, kelak menjadi saksi kebaikan, bukan bukti kebinasaan.
اللهم اجعل وسائلنا الاجتماعية وسيلةً إلى الجنة، لا وسيلةً إلى النار
Ya Allah, jadikanlah media sosial kami sebagai jalan menuju surga, bukan jalan menuju neraka. (*)