JAKARTAMU.COM | Syaikh Yusuf Al-Qardhawi dalam bukunya berjudul “Fatwa-fatwa Kontemporer” (Gema Insani Press) mengatakan di antara hal yang telah disepakati ialah bahwa melihat kepada aurat itu hukumnya haram, baik dengan syahwat maupun tidak, kecuali jika hal itu terjadi secara tiba-tiba, tanpa sengaja, sebagaimana diriwayatkan dalam hadis sahih dari Jarir bin Abdullah, ia berkata:
“Saya bertanya kepada Nabi SAW tentang memandang (aurat orang lain) secara tiba-tiba (tidak disengaja). Lalu beliau bersabda, ‘Palingkanlah pandanganmu.'” (HR Muslim)
Lantas, apakah aurat laki-laki itu? Bagian mana saja yang disebut aurat laki-laki?
Kemaluan adalah aurat mughalladhah (besar/berat) yang telah disepakati akan keharaman membukanya di hadapan orang lain dan haram pula melihatnya, kecuali dalam kondisi darurat seperti berobat dan sebagainya. Bahkan kalau aurat ini ditutup dengan pakaian tetapi tipis atau menampakkan bentuknya, maka ia juga terlarang menurut syara’.
Mayoritas fuqaha berpendapat bahwa paha laki-laki termasuk aurat, dan aurat laki-laki ialah antara pusar dengan lutut. Mereka mengemukakan beberapa dalil dengan hadits-hadits yang tidak lepas dari cacat. Sebagian mereka menghasankannya dan sebagian lagi mengesahkannya karena banyak jalannya, walaupun masing-masing hadits itu tidak dapat dijadikan hujjah untuk menetapkan suatu hukum syara’.
Sebagian fuqaha lagi berpendapat bahwa paha laki-laki itu bukan aurat, dengan berdalilkan hadits Anas bahwa Rasulullah SAW pernah membuka pahanya dalam beberapa kesempatan. Pendapat ini didukung oleh Muhammad Ibnu Hazm.
Menurut mazhab Maliki sebagaimana termaktub dalam kitab-kitab mereka bahwa aurat mughalladhah laki-laki ialah qubul (kemaluan) dan dubur saja, dan aurat ini bila dibuka dengan sengaja membatalkan salat.
Para fuqaha hadis berusaha mengompromikan antara hadits-hadits yang bertentangan itu sedapat mungkin atau mentarjih (menguatkan salah satunya).
Imam Bukhari mengatakan dalam kitab sahihnya “Bab tentang Paha,” diriwayatkan dari Ibnu Abbas, Jurhud, dan Muhammad bin-Jahsy dari Nabi SAW bahwa paha itu aurat, dan Anas berkata, “Nabi SAW pernah membuka pahanya.”
Hadis Anas ini lebih kuat sanadnya, sedangkan hadits Jurhud lebih berhati-hati.
Syaukani, dalam kitabnya Nailul Athar menanggapi hadits-hadits yang mengatakan paha sebagai aurat, bahwa hadits-hadits itu hanya menceritakan keadaan (peristiwa), tidak bersifat umum.
Adapun al-muhaqqiq Ibnul Qayyim mengatakan dalam Tahdzibut Tahdzib Sunan Abi Daud sebagai berikut:
“Jalan mengompromikan hadits-hadits tersebut ialah apa yang dikemukakan oleh murid-murid Imam Ahmad dan lainnya bahwa aurat itu ada dua macam, yaitu mukhaffafah (ringan/keci] dan mughallazhah (berat/besar). Aurat mughallazhah ialah qubul dan dubur, sedangkan aurat mukhaffafah ialah paha, dan tidak ada pertentangan antara perintah menundukkan pandangan dari melihat paha karena paha itu juga aurat, dan membukanya karena paha itu aurat mukhaffafah. Wallau a’lam.”
Dalam hal ini terdapat rukhshah (keringanan) bagi para olahragawan dan sebagainya yang biasa mengenakan celana pendek, termasuk bagi penontonnya, begitu juga bagi para pandu (pramuka) dan pecinta alam. Meskipun demikian, kaum muslim berkewajiban menunjukkan kepada peraturan internasional tentang ciri khas kostum umat Islam dan apa yang dituntut oleh nilai-nilai agama semampu mungkin.
Haram Dilihat
Al-Qardhawi mengingatkan bahwa aurat laki-laki itu haram dilihat, baik oleh perempuan maupun sesama laki-laki. Ini merupakan masalah yang sangat jelas.
Adapun terhadap bagian tubuh yang tidak termasuk aurat laki-laki, seperti wajah, rambut, lengan, bahu, betis, dan sebagainya, menurut pendapat yang sahih boleh dilihat, selama tidak disertai syahwat atau dikhawatirkan terjadinya fitnah.
Ini merupakan pendapat jumhur fuqaha umat, dan ini diperlihatkan oleh praktik kaum muslim sejak zaman Nabi dan generasi sesudahnya, juga diperkuat oleh beberapa hadits sharih (jelas) dan tidak bisa dicela.
Sebagian fuqaha lagi berpendapat tidak bolehnya wanita memandang laki-laki secara umum.
Larangan bagi wanita untuk melihat aurat laki-laki didasarkan pada hipotesis bahwa Allah menyuruh wanita menundukkan pandangannya sebagaimana Dia menyuruh laki-laki berbuat begitu.
Juga didasarkan pada hipotesis bahwa wanita itu adalah salah satu dari dua jenis anak Adam (manusia), sehingga mereka haram melihat (aurat) lawan jenisnya.
Haramnya bagi wanita ini dikiaskan pada laki-laki (yang diharamkan melihat kepada lawan jenisnya).
Alasan utama diharamkannya melihat itu karena dikhawatirkan teriadinya fitnah. Bahkan, kekhawatiran ini pada wanita lebih besar lagi, sebab wanita itu lebih besar syahwatnya dan lebih sedikit (pertimbangan) akalnya.
Nabi SAW bersabda kepada Fatimah binti Qais: “Beriddahlah engkau di rumah Ibnu Ummi Maktum, karena dia seorang tuna netra, engkau dapat melepas pakaianmu sedangkan dia tidak melihatmu.” (Muttafaq alaih)
Aisyah berkata: “Adalah Rasulullah SAW melindungiku dengan selendangnya ketika aku melihat orang-orang Habsyi sedang bernain-main (tontonan olah raga) dalam masjid.” (Muttafaq alaih)
Dalam riwayat lain disebutkan, pada waktu Rasulullah SAW selesai berkhotbah salat Id, beliau menuju kepada kaum wanita dengan disertai Bilal untuk memberi peringatan kepada mereka, lalu beliau menyuruh mereka bersedekah.
Seandainya wanita dilarang melihat laki-laki, niscaya laki-laki juga diwajibkan berhijab sebagaimana wanita diwajibkan berhijab, supaya mereka tidak dapat melihat laki-laki.