PATUT dicermati kemajuan Majelis Tarjih dan Tajdid Muhammadiyah menggugat keberlakuan hukuman mati dalam sistem hukum pidana di Indonesia. Terhadap Al Qur’an Surat Al Baqarah ayat 178 yang menjadi rujukan hukuman mati dalam Islam, agaknya Majelis Tarjih Muhammadiyah “berani” menafsirkan ulang. Artinya, kata ” kutiba” yang selama ini dimaknai kewajiban, tidak bisa disamakan dengan bobot kewajiban sebagaimana untuk perintah menjalani salat dan zakat.
Sesungguhnya, jika ingin dibaca seutuhnya maka ayat 178 Surat Al Baqarah itu justru memberikan syarat atas “kutiba” yakni jika korban atau keluarga korban memberikan maaf dan pelaku kemudian memberikan diat (tebusan) sebagai ganti kerugian dan proses pemberian maaf dan ganti kerugian itu berlangsung baik, maka qisas dapat digugurkan.
Jadi kewajiban itu bisa menjadi kebolehan (boleh ditinggalkan atau tidak dijalankan). Demikian ditegaskan Wawan Gunawan Abdul Wahid, anggota Majelis Tarjih dan Tajid PP Muhammadiyah dalam Seminar Nasional bertajuk Hukuman Mati dalam Perspektif Hukum Islam, Hukum Positif dan Hukum Internasional yang diselenggarakan oleh Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Muhammadiyah bersama Amnesty Internasional di Masjid At Tanwir PP Muhammadiyah – Menteng, Jakarta Pusat, Jumat (28/2/2025).
Menurut dia, di sinilah pentingnya pemaknaan ayat tersebut secara konstektual. Menurut para fukaha, hukum bisa berubah bergantung pada tuntutan situasi dan waktu. Illat atau suatu sebab tertentu bisa mempengaruhi pada keberlakuan kaedah.Selanjutnya, hal itu berujung pada pendapat Majelis Tarjih bahwa hukuman mati itu sudah saatnya ditinggalkan.
Di Indonesia, hukuman mati diterapkan sejak KUHP kolonial Belanda pada 1914. Tampaknya, akan mengalami perubahan dalam implementasinya ketika KUHP baru akan diberlakukan pada 2026. Sekalipun hukuman mati masih diperlukan, namun terjadi pergeseran dari cita keadilan retributif ke arah restoratif.
Baik Kejaksaan Agung maupun Mahkamah Agung masih berpendapat bahwa hukuman mati tetap dijalankan secara terbatas, khususnya bagi tindak pidana narkoba, terorisme, pembunuhan berencana. Justru dipertanyakan, kenapa sebagai anggota gugusan tindak pidana luar biasa yakni narkoba, terorisme, kejahatan seksual terhadap anak dan korupsi, sepertinya tak ada hukuman mati terhadap korupsi?
Sementara ini bagi yang pro hukuman mati di Indonesia, sebagaimana masih dianut di Indonesia dan Amerika Serikat, Iran, Arab Saudi, RRC dan Jepang, tentu merasa terwakili aspirasi keadilannya ketika hukuman mati tetap diberlakukan nanti (KUHP baru berlaku 2026). Namun, jangan lupa, keadilan retributif yang menjadi acuan hukuman mati itu lebih menitik-beratkan pada pembalasan dendam, sering memperburuk siklus kejahatan itu sendiri jika tak diikuti rehabilitasi.
Benarkah hukuman mati adalah kewajiban absolut yang merupakan muara pengakuan kepentingan publik kedalam sistem politik dan hukum demi solidaritas sosial?
Peraturan Mahkamah Agung R.I Nomor 1/2024 tentang Pedoman Mengadili Perkara Pidana Berdasar Keadilan Restoratif, diharapkan dapat membatasi kesewenang-wenangan penerapan keadilan retributif. Peraturan di atas memberikan jalan pendekatan penanganan perkara tindak pidana dengan melibatkan para pihak, baik korban, keluarga korban, terdakwa/ pelaku dan keluarga atau pihak lain yang terkait. Proses dan tujuannya adalah mengupayakan pemulihan, bukan pembalasan.
Dengan demikian beleid tersebut akan menggeser pemidanaan (penjatuhan hukuman) yang semula berdasar pembalasan, yang dalam khasanah teoritis dikenal sebagai teori absolut atau retributif, menjadi upaya memulihkan hubungan antara terdakwa, korban dan atau masyarakat yang mengajukan pertanggungjawaban terdakwa, serta menghindarkan setiap orang khususnya anak-anak dari perampasan kemerdekaan.
Bukankah restorative justice atau keadilan berbasis pemulihan telah diajarkan ayat 178 Surat Al Baqarah? Keadilan yang melibatkan keluarga korban, keluarga pelaku dengan saling memulihkan secara baik-baik. Bukankah itu juga keringanan dan rahmat Tuhanmu?
Terakhir, perhatikan: Barangsiapa melampaui batas setelah itu, maka ia akan mendapat azab yang pedih.
Inilah prinsip Islam menjaga dan menegakkan keadilan yang dipenuhi alternatif dan syarat untuk keseimbangan antara ketertiban beraspek publik menjadi tanggungjawab negara dan ketenteraman beraspek individu -komunitas menjadi tanggung jawab setiap orang.
Pidana adalah hukum pamungkas atau ultimum remedium. Ia menjadi tanggungjawab negara melalui para penegak hukum (polisi, kejaksaan, advokat dan hakim). Materi hukum pidana yang menjunjung tinggi ketertiban tetaplah harus dilakukan diatas rel keadilan baik dalam proses (KUHAP) maupun rambu-rambu pemidanaan (KUHP).
Keadilan yang berpori pada kesamaan di depan hukum, kesetaraan perlindungan menuntut tanpa diskriminasi dan tidak diperbolehkan pemihakan dan harus menjauhi subjektivitas dengan mengedepankan objektivitas. Hukuman mati yang merupakan hukuman pokok tertinggi dan terberat, sudah saatnya dikritisi dalam penegakkanya dengan mengacu pada pemulihan, bukan pembalasan. (*)