BAYANGAN penggusuran semakin nyata di benak warga. Kehadiran orang-orang asing yang berkeliaran di ujung desa bukan sekadar kebetulan. Mereka adalah antek-antek perusahaan yang dikirim untuk memastikan bahwa warga tak punya pilihan selain pergi. Namun, Pak Dahlan dan beberapa warga lainnya tidak tinggal diam. Mereka mulai mencari tahu siapa sebenarnya dalang di balik proyek ini.
Di pagi yang gerah, Pak Dahlan bersama Hasan dan Pak Umar berangkat ke kantor kecamatan. Mereka ingin menemui Camat untuk menanyakan langsung soal proyek yang mengancam desa mereka. Namun, seperti yang sudah diduga, mereka hanya menemui tembok birokrasi yang dingin.
“Pak Camat sedang sibuk, Bapak-Bapak bisa datang lagi lain waktu,” ujar seorang staf di balik meja.
Pak Dahlan menahan geram. “Kami hanya butuh jawaban, Mbak. Apakah pemerintah benar-benar telah menjual tanah kami?”
Staf itu menghela napas dan menatap mereka dengan wajah tanpa ekspresi. “Saya tidak bisa menjawab. Semua keputusan ada di atas.”
Hasan mengepalkan tangan. “Jadi benar? Pemerintah sudah menjual tanah kami tanpa bicara dengan warga?”
Tak ada jawaban. Keheningan itu sudah cukup sebagai konfirmasi. Mereka keluar dari kantor kecamatan dengan hati mendidih.
Di perjalanan pulang, mereka berpapasan dengan iring-iringan mobil mewah yang berdebu. Dari dalamnya, seorang pria berkacamata hitam turun, mengenakan jas mahal yang terlalu mencolok untuk desa pesisir seperti ini. Ia diikuti oleh beberapa pria berbadan besar yang tampak lebih seperti preman ketimbang pegawai perusahaan.
Pak Dahlan mengenali pria itu dari berita di televisi. Namanya Arief Santoso, komisaris utama sebuah perusahaan properti raksasa yang sering dikaitkan dengan proyek-proyek bermasalah. Dialah yang memegang kendali penuh atas proyek yang akan menggusur desa mereka.
Arief Santoso berjalan santai, menatap sekeliling dengan senyum tipis. Saat matanya bertemu dengan tatapan Pak Dahlan dan warga, ia mengangguk kecil, seolah menyapa. Namun, ada sinisme dalam ekspresi wajahnya.
“Selamat pagi, Bapak-Bapak,” suaranya terdengar ramah, tapi dingin. “Saya harap kalian bisa memahami bahwa proyek ini adalah untuk kemajuan. Kalian tentu tidak ingin menghambat pembangunan, bukan?”
Pak Dahlan maju selangkah. “Pembangunan untuk siapa, Pak? Kami tak butuh resor mewah atau pelabuhan besar. Kami hanya ingin hidup di tanah kami sendiri.”
Arief terkekeh pelan. “Ah, ini yang saya suka dari masyarakat tradisional. Begitu setia pada tanahnya, seolah dunia tidak berkembang. Percayalah, Pak Dahlan. Dunia terus bergerak maju. Dan saya hanya membantu membawa kemajuan ke tempat ini.”
Pak Umar menyela. “Dengan cara menggusur kami? Dengan cara membayar tanah kami murah dan mengirim preman untuk menakut-nakuti kami?”
Arief menatapnya dengan mata tajam. “Saya tidak tahu soal preman. Tapi saya tahu satu hal, Pak. Jika kalian menolak, proyek ini tetap berjalan. Dengan atau tanpa kalian.”
Warga yang berdiri di sekitar mulai berbisik-bisik. Ada ketakutan, ada kemarahan, tapi juga ada keputusasaan. Mereka tahu siapa yang mereka hadapi.
Arief memberi isyarat pada anak buahnya dan kembali ke dalam mobil. Sebelum pergi, ia menurunkan kaca jendela dan berbicara dengan nada santai. “Tiga bulan, Pak Dahlan. Setelah itu, tanah ini bukan milik kalian lagi.”
Mobil-mobil itu melaju, meninggalkan debu yang beterbangan di udara. Pak Dahlan mengepalkan tangan, menahan emosi yang meluap-luap.
Malam itu, warga berkumpul di mushala kecil di tengah desa. Lampu minyak berkedip-kedip, menyoroti wajah-wajah yang dipenuhi kecemasan. Hasan berdiri di tengah, suaranya penuh semangat.
“Kita tidak bisa diam saja! Mereka pikir kita akan menyerah begitu saja? Ini tanah kita, laut kita, kehidupan kita!”
Pak Umar mengangguk. “Benar. Kita harus mencari cara untuk melawan. Kita harus menghubungi orang-orang yang bisa membantu kita.”
“Siapa yang mau bantu kita?” suara Mak Sumi terdengar getir. “Pemerintah sudah berpihak ke mereka. Polisi? Mereka akan membela yang punya uang. Kita ini siapa?”
Pak Dahlan menghela napas. “Kita memang hanya rakyat kecil. Tapi kita masih punya suara. Kita bisa menghubungi media, mencari pengacara, atau siapapun yang mau memperjuangkan kita.”
Warga mulai berdiskusi, mencari cara untuk melawan. Beberapa pemuda berencana menghubungi jurnalis independen yang sering meliput kasus penggusuran. Sementara itu, Pak Dahlan berusaha menghubungi kenalan lamanya yang bekerja di lembaga bantuan hukum.
Namun, di tengah harapan itu, sebuah ketukan keras di pintu mushala membuat semua orang terdiam.
Seorang lelaki muda masuk dengan wajah panik. Napasnya memburu, keringat membasahi wajahnya. “Pak Dahlan! Pak Umar! Ada yang datang ke rumah kalian!”
Semua orang langsung bergegas keluar. Di ujung jalan, beberapa pria berbadan tegap berdiri di depan rumah Pak Dahlan dan Pak Umar. Mereka tidak melakukan apa-apa—hanya berdiri, mengisap rokok, dan menatap warga yang datang mendekat dengan tatapan dingin.
Pak Dahlan maju. “Apa maumu?”
Salah satu pria itu membuang puntung rokoknya. “Pesan dari bos kami. Berhenti menghasut warga. Kalau tidak, bakal ada yang celaka.”
Warga mulai bergerak maju, tapi pria-pria itu hanya tertawa kecil sebelum berbalik pergi. Tidak ada kekerasan malam itu. Tapi ancaman sudah dilemparkan.
Pak Dahlan menatap langit yang gelap. Ia tahu, ini baru permulaan.
(Bersambung ke seri-3: Ancaman di Balik Bayangan)