DI bawah langit senja yang kemerahan, suasana desa semakin tegang. Kepergian beberapa keluarga yang memilih menerima kompensasi menjadi pukulan berat bagi warga yang bertahan.
Pak Dahlan menatap rumah-rumah kosong dengan sorot mata yang sulit ditebak. Ia memahami alasan mereka yang menyerah, tapi hatinya terasa berat melihat perjuangan mereka perlahan terkikis.
“Kita tidak bisa menyalahkan mereka,” kata Rina dengan nada lirih. “Mereka dihadapkan pada pilihan sulit.”
“Tapi kalau ini terus dibiarkan, satu per satu kita akan menyerah,” sahut Hasan. “Lalu apa gunanya kita melawan sejak awal?”
Pak Umar mengangguk. “Hasan benar. Kita harus bertindak cepat sebelum yang lain ikut menyerah. Kita perlu membangkitkan kembali semangat perlawanan.”
Pak Dahlan menoleh ke arah Rifki. “Bagaimana dengan media? Apa masih ada yang berani meliput?”
Rifki menghela napas panjang. “Beberapa jurnalis independen masih tertarik, tapi mereka takut. Tekanan terlalu besar.”
Rina mengepalkan tangan. “Kalau begitu, kita yang harus lebih aktif menyuarakan ini. Kita harus buat perlawanan ini terus terdengar.”
Pak Dahlan mengangguk pelan. “Baik. Kita kumpulkan warga yang masih bertahan. Kita harus tegaskan bahwa perjuangan ini belum selesai.”
Malam itu, pertemuan kembali digelar di rumah Pak Dahlan. Warga yang tersisa duduk melingkar, menunggu arahan.
“Kita sedang berada di titik genting,” ujar Pak Dahlan membuka pembicaraan. “Mereka menggunakan berbagai cara untuk melemahkan kita. Tapi kita masih di sini. Kita masih berjuang.”
“Pertanyaannya,” lanjutnya, “apa kita akan tetap bertahan atau kita menyerah?”
Ruangan itu hening sejenak. Warga saling berpandangan, hingga suara Mak Sumi memecah keheningan.
“Aku tak ingin kehilangan rumahku,” katanya dengan suara bergetar. “Suamiku sudah meninggal di tanah ini. Aku ingin tetap di sini sampai akhir.”
Hasan berdiri. “Aku juga. Aku tidak akan mundur. Mereka boleh mengancam, tapi mereka tidak bisa mengambil hak kita begitu saja.”
Pak Umar mengangguk mantap. “Kalau begitu, kita buat strategi baru.”
Hasan menyela. “Kita harus lebih berani. Kalau mereka menekan kita, kita juga harus membuat tekanan balik. Kita harus tunjukkan bahwa kita tidak takut.”
Rina tersenyum tipis. “Aku setuju. Kita bisa manfaatkan media sosial. Kita buat video tentang kondisi desa, ancaman yang kita hadapi, dan bagaimana mereka menekan kita.”
Pak Dahlan berpikir sejenak, lalu mengangguk. “Baik. Kita akan lawan ini dengan suara kita sendiri.”
Pagi itu, video pertama diunggah ke media sosial. Dalam rekaman, Rifki berbicara langsung ke kamera.
“Kami warga desa telah tinggal di sini turun-temurun. Tapi sekarang, kami dipaksa pergi dari tanah kami sendiri. Kami diperlakukan seperti bukan manusia. Kami diancam, diintimidasi, bahkan dipaksa pergi dengan harga yang tidak sepadan.”
Video itu menampilkan cuplikan rumah-rumah kosong, testimoni warga yang masih bertahan, dan rekaman aparat serta preman yang mengintimidasi mereka.
Dalam hitungan jam, video itu mulai menarik perhatian.
Komentar pun berdatangan. Ada yang mendukung, ada yang mengecam. Tapi yang paling mengejutkan, video itu mendapat respons dari aktivis dan beberapa tokoh nasional yang menyoroti ketidakadilan yang terjadi.
“Kita berhasil!” seru Rifki dengan penuh semangat.
Tapi di balik euforia itu, ancaman baru mulai mengintai.
Di sebuah kantor yang berlokasi di kota, Arief menatap layar laptopnya dengan wajah geram. Video yang diunggah warga sudah mulai menyebar luas.
“Tuan, sepertinya mereka mulai melawan dengan cara lain,” lapor seorang pria berkacamata di sebelahnya.
Arief menghela napas panjang. “Kita tak bisa biarkan ini berkembang lebih jauh.”
“Apa kita perlu kirim orang lagi?” tanya pria itu hati-hati.
Arief berpikir sejenak. “Tidak perlu kekerasan terbuka untuk saat ini. Tapi kita harus buat mereka merasa tidak aman. Pastikan mereka tahu bahwa setiap langkah mereka diawasi.”
Pria berkacamata itu mengangguk. “Saya mengerti. Kami akan atur semuanya.”
Arief menatap kembali layar laptopnya. Dalam hati, ia tahu bahwa perlawanan warga belum selesai. Tapi ia juga yakin bahwa mereka tidak akan bertahan lama.
Hari itu, desa kembali merasakan tekanan yang berbeda.
Hasan mendapati motornya dengan ban yang sudah digembosi. Di rumah Rifki, seseorang melemparkan batu ke jendela saat malam tiba.
Mak Sumi merasa ada orang yang mengikuti dirinya ketika pergi ke pasar.
“Kita semakin membuat mereka marah,” kata Rina dengan nada khawatir.
“Bagus,” sahut Hasan. “Itu berarti mereka mulai takut.”
Namun, malam itu, ketakutan berubah menjadi kenyataan yang lebih besar.
Pak Dahlan menerima telepon dari nomor tak dikenal.
“Pak Dahlan,” suara berat di seberang terdengar dingin. “Kami sudah cukup bersabar. Hentikan semua ini sebelum terlambat.”
Pak Dahlan menggenggam ponselnya erat. “Kalau kalian ingin berbicara, datanglah ke desa. Jangan bersembunyi di balik ancaman.”
Orang di seberang tertawa kecil. “Kami tidak perlu datang. Kami bisa membuat segalanya berakhir kapan saja.”
Klik. Telepon terputus.
Pak Dahlan menatap kosong ke depan. Ia tahu, pertarungan ini baru saja mencapai level yang lebih berbahaya.
Di kejauhan, ombak terus menggulung di pantai, membawa serta gelombang kemarahan yang semakin membesar.
(Bersambung ke seri-7: Bara di Balik Bayangan)