JAKARTAMU.COM | Pakaian, bagi manusia modern, adalah ekspresi identitas, gaya, status, bahkan ideologi. Namun, di dalam Al-Qur’an, pakaian tidak sekadar lembar kain penutup tubuh. Ia adalah isyarat—tentang kodrat, godaan, dan jalan kembali kepada fitrah. Selembar pakaian bisa mengungkap perang abadi antara ide asal manusia dan bisikan abadi dari setan.
Prof Dr M Quraish Shihab dalam bukunya berjudul “Wawasan Al-Quran” menjelaskam tiga kata digunakan Al-Qur’an untuk menyebut pakaian: libās, tsiyāb, dan sarābīl. Masing-masing muncul dalam konteks dan muatan makna yang berbeda, menyuguhkan perspektif filosofis yang dalam mengenai apa sejatinya fungsi pakaian dalam hidup manusia.
Libās, disebut sebanyak sepuluh kali, berasal dari akar kata yang berarti “menutupi”. Ia adalah penutup, baik secara fisik maupun simbolik. Dalam Surah Al-Nahl (16):14, kata ini digunakan saat Allah menggambarkan laut yang memunculkan “perhiasan yang kamu pakai”—mutiara. Di sini, libās tidak lagi sekadar kain, melainkan perlambang kemewahan, estetika, dan eksistensi sosial.
Tapi tak selalu libās bermakna positif. Dalam konteks spiritual, ia juga menjadi metafora bagi pakaian batin: kesalehan, kehormatan, atau bahkan kemunafikan. Pakaian tak hanya menutupi tubuh, tapi juga bisa menutupi niat. Al-Qur’an menyebut bahwa dalam relasi suami istri, mereka adalah libās satu sama lain—penutup, pelindung, dan penenang.
Sementara itu, tsiyāb yang berasal dari akar kata tsaaba (kembali), menyiratkan sebuah filosofi eksistensial: bahwa pakaian adalah kembalinya sesuatu pada tujuan awalnya.
Ide dasar pakaian bukan sekadar menutup, melainkan mengembalikan manusia pada kodrat aslinya—yakni tertutupnya aurat. Sebuah kenangan primordial yang terekam jelas dalam Surah Al-A’raf (7):20-22, ketika Adam dan Hawa kehilangan pakaian surgawi akibat tipu daya setan.
Aurat mereka tersingkap, dan daun-daun surga pun menjadi pelindung darurat. Di situ, pakaian menjadi simbol kemanusiaan yang tercerabut dari fitrah oleh bisikan jahat.
Tafsir kebahasaan ini menemukan legitimasi dari Ar-Raghib Al-Isfahani, pakar leksikon Al-Qur’an. Menurutnya, pakaian disebut tsaub karena ia adalah hasil dari proses kembali: dari benang menjadi kain, dari bahan mentah menjadi fungsi. Manusia, pun begitu. Dalam kerentanan dan auratnya, ia butuh “kembali”—kepada jati diri, kepada Tuhan.
Namun, ada pakaian yang tidak menyelamatkan. Sarābīl, yang hanya disebut dalam dua ayat, memperkenalkan sisi gelap dari busana.
Dalam Surah Ibrahim (14):50, pakaian menjadi alat siksa: sarābīl min qatirān, pakaian dari pelangkin, bahan menyiksa bagi mereka yang durhaka.
Sementara di Surah Al-Nahl (16):81, sarābīl adalah proteksi, dari panas, dari perang, dari dunia yang mematikan. “Pakaian bisa menjadi pelindung, bisa pula menjadi hukuman, tergantung di mana posisi manusia dalam peta moral ilahiah,” terang Quraish.
Sebuah riwayat dari Khadijah, istri Nabi Muhammad, menambahkan lapisan makna yang mengejutkan. Ketika Nabi mengalami pengalaman spiritual di Gua Hira dan diliputi keraguan, apakah yang dilihatnya adalah malaikat atau setan, Khadijah mengujinya dengan cara membuka pakaiannya.
“Apakah engkau masih melihatnya?” tanyanya. Ketika Nabi menjawab tidak, Khadijah pun mantap: “Itu pasti malaikat. Setan tidak akan menjauh dari aurat terbuka.” Di sinilah pakaian berubah menjadi alat uji spiritual, bukan hanya alat tutup fisik.
Ayat-ayat dan narasi ini seolah mengingatkan: keterbukaan aurat bukan sekadar persoalan etika berpakaian, melainkan pertarungan ontologis antara fitrah dan godaan. Aurat terbuka adalah tanda kejatuhan, pakaian adalah simbol usaha untuk kembali. Dan dalam dunia di mana batas antara ekspresi dan eksposisi kian kabur, pertanyaan tentang pakaian menjadi lebih dari sekadar mode.
Ia adalah pertarungan antara jalan kembali dan jalan tersesat.