Senin, Mei 19, 2025
No menu items!
spot_img

Rumah yang Terlihat Penuh

Must Read

PAGI itu, Lina menyiapkan sarapan seperti biasa. Telur dadar, nasi hangat, dan segelas teh manis. Tak ada yang istimewa. Tapi di dalam kepalanya, ada banyak hal yang berlarian, tak bisa diam. Jemuran yang belum terangkat, cucian piring semalam yang belum sempat tersentuh, dan suara tangis anak bungsunya yang semalam memecah sunyi ketika demam menyerangnya.

Semua dilakukannya sendiri. Sudah bertahun-tahun.

Rendi, suaminya, masih mendengkur di kamar. Ponselnya tergeletak di atas meja, masih memutar video hobi memancing yang entah keberapa. Bahkan ketika Lina mengeluh soal kelelahan, tentang sakit punggungnya, Rendi hanya menjawab, “Udahlah, jangan banyak ngeluh. Kamu tuh ibu rumah tangga, emang kerjaannya begitu.”

Tak ada ruang untuk lelah. Tak ada waktu untuk sekadar bernapas.

Lina pernah punya mimpi. Ia ingin jadi guru TK. Tapi sejak menikah dan punya dua anak, mimpinya dikubur perlahan. Setiap kali ia membicarakan harapannya, Rendi tertawa kecil dan berkata, “Buat apa sekolah lagi? Fokus aja di rumah.”

Dan ia belajar diam.

Hari libur pun tak banyak berbeda. Rendi lebih memilih keluar rumah, memancing, atau berlama-lama menonton video di ponselnya. Lina hanya menatap, menunggu, dan mengira-ngira kapan ia akan diajak bicara. Bukan soal belanja atau listrik yang menunggak, tapi tentang perasaannya. Tentang dirinya.

Di sisi kota yang berbeda, Damar duduk di teras rumah sambil memangku anak perempuannya, Alya. Ia menatap istrinya, Sari, yang sedang menyiram tanaman. Ada lelah di wajah Sari, tapi juga kelembutan. Ia selalu bisa menjaga keseimbangan rumah meski kadang dunia seolah hendak runtuh.

“Mah, nanti malam kita keluar yuk. Cari makan, yang kamu suka,” ucap Damar.

Sari menoleh dan tersenyum kecil. “Mas, minggu ini budget kita ketat. Gajimu juga belum turun.”

Damar menggeleng. “Nggak mahal-mahal. Nasi goreng depan gang juga boleh. Yang penting kita ngobrol.”

Mereka tahu betul bahwa pernikahan bukan panggung glamor. Ia seperti kebun kecil yang harus disiram, dirawat, dan dijaga dari gulma. Dan percakapan adalah airnya. Mereka tidak sempurna. Kadang Damar marah karena pekerjaan, kadang Sari menangis karena lelah. Tapi mereka selalu mencari cara untuk bertemu di tengah.

Damar pernah gagal. Ia pernah jadi pria yang lupa pulang, larut dalam urusan kantor dan layar ponsel. Sampai suatu malam, ia pulang dan menemukan Sari menangis dalam sunyi, di pojok dapur. Saat itulah ia belajar, rumah bukan soal dinding dan atap, tapi soal hadirnya hati yang bertaut.

Di ruang tamunya yang sepi, Rendi termenung. Ia merasa baik-baik saja dengan hidupnya. Gajinya cukup, rumahnya utuh, anak-anaknya sehat. Tapi kenapa akhir-akhir ini Lina tampak dingin? Kenapa anak sulungnya lebih dekat dengan ibunya? Kenapa rumah yang dulu hangat kini terasa seperti lorong panjang yang sepi?

Ia teringat ucapan seorang teman di kantor, “Istrimu tuh cerminan perlakuanmu, Ren. Kalau dia berubah, bisa jadi karena kamu udah lama berubah juga.”

Rendi mengernyit. Benarkah?

Tapi dia merasa sudah memenuhi kewajiban. Dia tidak berjudi, tidak selingkuh. Pulang tiap malam, membawa uang belanja. Bukankah itu cukup?

Namun bayangan Lina menangis diam-diam, suaranya yang kini tak lagi bernada ceria, dan anak-anak yang lebih banyak mencari ibunya untuk cerita, membuat hati Rendi gelisah.

Sari pernah nyaris menyerah. Dulu Damar adalah pria yang cuek, keras kepala, dan sulit diajak berbicara. Tapi waktu dan luka mengajarkan banyak hal. Ia tidak hanya bertahan, tapi juga memperjuangkan. Ia tidak ingin anaknya tumbuh di rumah yang dingin, tempat dua orang dewasa saling menjauh meski tinggal serumah.

Ia mulai mengajak bicara. Pelan-pelan, tanpa menyudutkan. Kadang gagal, kadang berhasil. Tapi setiap kali berhasil, ia merasa satu langkah lebih dekat untuk kembali.

“Mas, aku lelah bukan berarti aku nggak cinta. Tapi aku butuh ditemani juga,” kata Sari suatu malam.

Dan Damar menatapnya. Lama. Lalu menggenggam tangannya.

Kini, mereka menjadikan percakapan sebagai rutinitas. Sari tahu, cinta tak cukup hanya dengan kesetiaan. Ia butuh kehadiran. Butuh jeda untuk bicara, untuk berbagi.

Malam itu, Lina berdiri di depan cermin. Wajahnya pucat, kantung matanya menggantung. Ia baru saja menidurkan anak-anak. Rendi masih dengan ponselnya. Tak ada tanya, tak ada sapa. Dunia mereka seperti dua planet yang hanya sesekali bersinggungan di orbit yang dingin.

Lina menarik napas panjang. Ia tahu tak bisa terus begini.

Ia pun menulis pesan singkat:

“Mas, boleh kita ngobrol besok pagi? Aku nggak kuat terus begini. Aku pengen kita berubah.”

Tak langsung dibalas. Tapi Rendi membaca. Ia menatap layar cukup lama, sebelum meletakkannya dan memejamkan mata. Tak tahu harus menjawab apa.

Lina menyimpan secercah harap. Mungkin besok Rendi akan mengajaknya bicara. Mungkin juga tidak.

Tapi malam itu, untuk pertama kalinya sejak lama, Lina berdoa bukan untuk kuat… tapi untuk didengar.

Di dua rumah berbeda, dua pasang suami istri duduk dalam diam. Yang satu mulai bicara dan saling mendengar. Yang lain masih terjebak dalam rutinitas yang menyembunyikan jarak.

Apakah keheningan akan berubah jadi suara? Ataukah rumah-rumah itu akan tetap penuh, tapi kosong? (*)

Ibadah Haji: Keagungan dan Kemuliaan Baitullah al-Haram

JAKARTAMU.COM | Allah Subhanahu wa Ta’ala menjadikan Baitul Haram sebagai tempat yang diagungkan. Masjidil Haram dijadikan sebagai halaman bagi...
spot_img
spot_img
spot_img

More Articles Like This