JAKARTAMU.COM | Indonesia, negara maritim terbesar di dunia, sampai hari ini belum juga punya lembaga klasifikasi kapal yang diakui oleh International Association of Classification Societies (IACS). Padahal, IACS adalah badan internasional paling berpengaruh dalam urusan keselamatan dan standar pelayaran dunia. Sudah ada 12 negara yang jadi anggotanya, termasuk Norwegia (DNV), Jepang (ClassNK), dan Korea Selatan (Korean Register)—semuanya negara dengan wilayah laut lebih kecil dari Indonesia.
Untuk bisa bergabung ke IACS, beberapa syaratnya adalah menerapkan Common Structural Rules (CSR) untuk kapal tanker dan bulk carrier, menjalani audit mutu QSCS oleh pihak independen, serta punya kemampuan klasifikasi kapal internasional, termasuk kapal berbendera asing.
Selain itu, lembaganya juga harus independen dan terbebas dari tekanan pemerintah atau pemilik kapal, dan kapal-kapal yang mereka klasifikasikan harus punya rekam jejak baik saat diperiksa di pelabuhan-pelabuhan dunia. Pemungutan suara antaranggota membuat reputasi jadi faktor penentu.
Penasihat Perkumpulan Industri Komponen Kapal Indonesia (PIKKI), Novirwan Said, menyebut belum diakuinya Biro Klasifikasi Indonesia (BKI) oleh IACS sebagai masalah besar yang menghambat daya saing industri kemaritiman nasional, termasuk di dalamnya pelayaran, galangan, dan komponen kapal.
Pemilik kapal yang ingin berlayar internasional harus keluar biaya lebih untuk klasifikasi ganda karena klas BKI tidak cukup. Kapal-kapal Indonesia harus menjalani pemeriksaan tambahan di pelabuhan luar negeri karena klasifikasinya belum diakui universal.
Akibatnya, biaya operasional membengkak, waktu sandar lebih lama, dan peluang kontrak internasional bisa hilang. Dampaknya juga menjalar ke galangan kapal dan industri komponen dalam negeri. Produk mereka sulit bersaing di pasar global karena dianggap tidak memenuhi standar internasional.
“Ini ironi. Sudah 35 tahun wacana ini dibicarakan, tapi tak kunjung tuntas. Padahal, keanggotaan di IACS bukan soal gengsi, tapi soal pengakuan dunia terhadap standar kelaikan kapal kita,” ujarnya di Jakarta, Senin (26/5/2025).
Novirwan menekankan, negara-negara lain bisa diakui IACS bukan semata karena industri mereka kuat, tapi karena pemerintahnya serius dan konsisten mendorong pengakuan itu. Indonesia, kata dia, tidak akan bisa melangkah jika tidak ada kemauan politik dari pemerintah.
Novirwan juga menyoroti lemahnya koordinasi antarinstansi saat ini. Dulu, katanya, masih ada Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman yang bisa menyatukan langkah Kemenhub, BUMN, Kemenlu, hingga Kemenperin. Sekarang, arah kebijakan maritim terasa tanpa nakhoda.
“Sekarang roadmap-nya siapa yang pegang? Siapa yang jadi dirijen agar kita masuk IACS? Nggak jelas,” katanya.
Novirwan mendesak pemerintah agar menjadikan keanggotaan BKI dalam IACS sebagai prioritas nasional. Dia mendorong agar hal ini dimasukkan ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) di RPJMN. Ia juga menyarankan adanya kerja sama teknis antara BKI dan anggota IACS yang sudah mapan, membuka kantor BKI di pelabuhan internasional seperti Singapura, Dubai, atau Rotterdam, serta dukungan pembiayaan dan diplomasi dari pemerintah.
“Negara tidak boleh terus menunggu. Kalau kita sungguh ingin diakui sebagai negara maritim, maka masuk IACS adalah keharusan. Bukan sekadar wacana atau slogan,” tegasnya.
Ia menutup dengan peringatan, “Kalau bukan sekarang, kapan lagi? Dunia sudah berubah cepat. Kita tidak bisa terus menunggu 35 tahun lagi.”