MALAM itu, jalanan sempit di kampung Kauman dan Pecinan dipenuhi keheningan yang menyiksa. Hanya terdengar suara langkah kaki yang tergesa-gesa dan bisik-bisik penuh ketegangan. Para pemuda perlawanan menyusuri lorong-lorong gelap, menghindari patroli Inggris yang semakin intensif.
Jatmiko memimpin rombongan kecil itu, wajahnya tegang namun penuh tekad. Di balik kegelapan, mereka membawa pesan-pesan rahasia dan bekal kecil untuk para keluarga yang kehilangan anggota atau yang tengah terancam penangkapan.
“Jangan sampai ada yang tertinggal,” ucapnya pelan, matanya mengawasi setiap sudut jalan.
Namun, di salah satu tikungan sempit, mereka bertemu dengan sekelompok pasukan Sepoy yang sedang berpatroli. Kejadian itu membuat jantung semua anggota rombongan berdegup kencang.
Pertarungan singkat terjadi. Meskipun tak seimbang secara jumlah dan persenjataan, semangat para pemuda tidak mudah padam. Beberapa berhasil meloloskan diri, namun ada juga yang tertangkap dan dilarikan ke markas Inggris.
Kabar buruk itu segera sampai ke telinga Mbok Sumarni yang tengah menunggu di tempat rahasia. Ia menghela napas panjang, lalu mengeluarkan gulungan kertas dari balik jubahnya.
“Ini adalah peta terbaru jalur-jalur aman. Kita harus segera memberitahukan kepada semua kelompok lain agar menghindari rute yang sudah diketahui musuh,” ucapnya dengan suara berat.
Sementara itu, di Benteng Vredeburg, Pangeran Mangkudiningrat terus menulis dengan tangan gemetar. Setiap goresan tinta adalah luka yang tertumpah dari hatinya. Ia tahu nasibnya dan ayahnya bukan hanya persoalan pribadi, tapi cermin dari penderitaan rakyat dan kehancuran sebuah kerajaan.
Dalam jeruji besi, ia merenung, “Akankah cerita ini tersampaikan pada dunia? Akankah ada yang memperjuangkan keadilan bagi Jogja?”
Jauh dari sana, Sultan Raja menerima laporan tentang perlawanan yang makin membesar. Kemarahannya membara, tapi ia juga sadar bahwa kekuatan Inggris menjadi sandaran utamanya. Dalam kebimbangan dan kesepian di singgasana, ia mulai meragukan jalannya.
Malam itu, jalan sunyi yang dipenuhi jejak luka menjadi saksi bisu perlawanan yang tidak akan padam. Meski dipenuhi penderitaan dan pengkhianatan, harapan untuk kebangkitan terus dijaga dalam hati para pejuang.
(Bersambung seri ke-13: Bisikan di Balik Jeruji)