Jumat, Juli 25, 2025
No menu items!

Babad Sepehi (1): Runtuhnya Kemegahan Keraton Jogja

Must Read

SORE itu, langit mendung menggantung di atas puncak Tugu Pal Putih, dan bayang-bayang panjang menggeliat di halaman Alun-alun Lor. Suara meriam terdengar dari kejauhan, mengguncang perut bumi dan mengguncang hati siapa pun yang masih tinggal di dalam tembok Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Asap mengepul dari arah Regol Donopratoro. Bau mesiu dan darah bercampur jadi satu, melayang-layang di udara seperti kabar buruk yang mustahil ditepis.

Hari itu menjadi saksi dari satu peristiwa kelam yang kelak dicatat dalam sejarah sebagai Geger Sepehi. Sepehi, tentara India bayaran Inggris, menggempur Keraton dengan cara yang belum pernah dibayangkan oleh para prajurit Mataram, yang selama ini merasa sakral dalam tembok istananya sendiri. Tak ada rasa hormat, tak ada kompromi. Semua disapu.

Sultan Sepuh, Sri Sultan Hamengku Buwana II, berdiri termangu di Bangsal Kencono. Matanya kosong, menatap arah selatan, ke titik di mana benteng pertahanan keraton telah jebol. Jubah kerajaannya berdebu, sementara suara tangis dan jerit permaisuri serta para sentana mulai terdengar dari balik dinding Bale Kencana. Ia tahu, tak ada lagi yang bisa dipertahankan. Kekuasaan, martabat, kehormatan, semua sedang dikoyak paksa oleh kekuatan asing yang dipanggil masuk oleh orang-orangnya sendiri.

Di pelataran keraton, prajurit Bugis dan pengawal keraton telah gugur. Laskar Inggris dengan bayonet berkilat bergerak dari arah Magangan menuju Keben, membantai siapa saja yang melawan. Mayat berserakan. Senjata tradisional keraton tak sebanding dengan peluru dan strategi barat yang kini berpadu dengan pengkhianatan dalam negeri.

Yang tak kalah pahit, serangan itu bukan hanya tentang kekuatan militer. Ini soal pengaturan kekuasaan. Inggris ingin mengatur ulang struktur takhta Jawa, memotong garis warisan, dan mengangkat orang yang mereka anggap lebih mudah dikendalikan. Raffles telah menyiapkan semuanya: strategi, alasan, dan boneka kekuasaan.

Sementara keraton hancur, di satu tempat yang teduh di luar benteng, Sultan Raja, anak dari Sultan Sepuh, telah bersiap dengan pakaian kebesaran, menunggu pengangkatan resmi. Ia bukan pilihan ayahnya, bukan pula putra dari permaisuri utama. Tapi ia telah mendapat restu dari Inggris, dan itu lebih dari cukup.

“Demi ketertiban tanah Jawa,” kata Residen John Crawfurd, “Keraton membutuhkan pemimpin baru.”

Tak ada yang lebih menyayat hati bagi Sultan Sepuh daripada tahu bahwa anaknya sendiri tak mengulurkan tangan ketika keraton digempur. Tak satu pun utusan dikirim. Bahkan Pangeran Notokusumo, adik sang sultan, justru berdiri di sisi Crawfurd, siap menerima gelar barunya sebagai Sri Paku Alam, pemimpin kadipaten baru pecahan dari kekuasaan keraton.

Malam itu, setelah sebagian bangunan utama habis terbakar dan emas-emas dari Petanen digondol keluar oleh tentara Inggris, suara gamelan berhenti berbunyi. Perempuan-perempuan kraton mengungsi dalam kepanikan. Para prajurit yang selamat mundur ke arah timur, mencari perlindungan ke kampung-kampung luar kota. Sebagian besar tak kembali lagi.

Sultan Sepuh berjalan perlahan menuju bangsal tempat permaisurinya bersembunyi. Ia mengusap kepala Pangeran Mangkudiningrat, anaknya dari permaisuri utama, yang duduk termenung dengan mata berkaca.

“Seandainya Ayah wafat hari ini,” ucap sang sultan lirih, “kau tetap pewaris yang sah. Namun zaman ini telah kehilangan rasa hormat pada darah raja.”

Pangeran Mangkudiningrat menunduk. Ia tahu, dalam urusan istana, darah bukan segalanya. Ada kekuasaan, pengaruh, dan politik penjajah yang menentukan siapa yang boleh naik, siapa yang harus turun.

Saat itu juga, dari arah Pagelaran, dentang lonceng Belanda terdengar. Raffles, Gubernur Inggris yang baru datang dari Batavia, mengumumkan pergantian kekuasaan. Ia menyebut Sultan Sepuh sebagai pemberontak. Ia menyebut Sultan Raja sebagai raja baru yang sah atas Jogjakarta.

Para abdi dalem tak berani bersuara. Banyak yang telah memilih diam demi keselamatan. Yang bersuara pun mulai dibungkam dengan cara keji.

Keraton yang dulu penuh wibawa, kini seperti tubuh yang telah habis disayat. Tak ada lagi martabat. Hanya luka yang belum mengering.

Di luar benteng, rakyat hanya bisa menatap dari kejauhan. Alun-alun penuh abu dan jejak kaki kuda pasukan Inggris. Di tengah kekacauan itu, Raffles mencatat segala yang ia rampas: emas, permata, manuskrip, pusaka, dan harta yang selama ini disimpan dalam peti-peti keraton.

Tak satu pun yang bisa mencegahnya. Bahkan sang raja sendiri telah jadi tawanan tak bersenjata.

Geger Sepehi tak hanya meruntuhkan istana. Ia meruntuhkan kepercayaan. Mengubur harapan. Dan membuka babak baru dari cerita panjang sebuah kekuasaan yang diganti tanpa restu rakyat.

(Bersambung seri ke-2: Sang Raja Baru dan Bayangan Pengkhianatan)

13 Pasal RUU KUHAP Langgar HAM, Muhammadiyah Desak Tinjau Ulang

PONTIANAK, JAKARTAMU.COM | Majelis Hukum dan HAM Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah mendesak DPR dan pemerintah meninjau ulang Rancangan Undang-Undang...

More Articles Like This