Kamis, Mei 8, 2025
No menu items!

Bolehkah Niat Kurban untuk Orang yang Sudah Meninggal?

Must Read

APAKAH kita boleh berkurban atas nama orang tua, mertua, atau kerabat yang telah wafat? Itulah pertanyaan yang kerap muncul setiap menjelang perayaan Iduladha. Pertanyaan itu diajukan bukan semata-mata untuk mendapatkan jawaban teknis. Kendati sederhana, pertanyaan tersebut mengandung muatan emosional yang mendalam, tentang cinta, harapan, dan bakti.

Meski demikian, dalam agama urusan agama setiap niat mulia mesti tetap berpijak pada petunjuk wahyu. Islam bukan sekadar perasaan, tapi juga bimbingan yang terukur. Maka mari kita telaah dengan hati-hati, bukan dengan nafsu cinta semata, tetapi dengan cinta yang dituntun oleh syariat.

Salah satu dalil yang paling sering menjadi dasar ketika berbicara tentang amalan untuk orang yang telah wafat adalah hadis sahih berikut:

قالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ: “إِذَا مَاتَ الإِنْسَانُ انْقَطَعَ عَمَلُهُ إِلَّا مِنْ ثَلَاثَةٍ: صَدَقَةٍ جَارِيَةٍ، أَوْ عِلْمٍ يُنْتَفَعُ بِهِ، أَوْ وَلَدٍ صَالِحٍ يَدْعُو لَهُ.”

“Jika seseorang meninggal dunia, maka terputuslah amalnya kecuali dari tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak saleh yang mendoakannya.” (HR. Muslim no. 1631)

Hadis ini secara tegas menyatakan bahwa amal seseorang berhenti saat ia wafat, kecuali dalam tiga sedekah jariyah, ilmu yang terus dimanfaatkan, dan anak saleh yang mendoakannya. Maka pertanyaan pentingnya: apakah kurban termasuk salah satu dari tiga hal ini?

Pahala Ibadah Kuran Tidak Diwakafkan

Kurban dalam ajaran Islam merupakan salah satu ibadah mahdhah, yaituibadah murni. Dia bersifat ritual, simbol tauhid yang tidak bisa diganti-ganti bentuk atau niatnya, kecuali dengan dasar yang jelas dari Al-Qur’an atau sunnah.

Dalam Al-Qur’an Allah berfirman:

قُلْ إِنَّ صَلَاتِي وَنُسُكِي وَمَحْيَايَ وَمَمَاتِي لِلَّهِ رَبِّ الْعَالَمِينَ

“Katakanlah, sesungguhnya shalatku, ibadah sembelihanku, hidup dan matiku hanyalah untuk Allah, Tuhan semesta alam.” (QS. Al-An’ām: 162)

Ayat ini menegaskan bahwa ibadah, termasuk nusuk (sembelihan/kurban), adalah bentuk penghambaan yang langsung tertuju kepada Allah. Maka tidak boleh sembarang mengubah orientasi atau menisbahkannya kepada selain Allah atau kepada orang yang sudah wafat tanpa dalil khusus.

Jika kita melihat praktik Rasulullah SAW, beliau sangat mencintai Khadijah RA — istri pertama beliau yang wafat lebih dahulu — dan juga paman beliau, Abu Thalib, yang banyak berjasa. Namun tidak ada satu riwayat sahih pun yang menunjukkan bahwa Rasulullah SAW pernah berkurban atas nama mereka setelah mereka wafat. Padahal andai hal itu dibolehkan atau dianjurkan, niscaya Rasulullah-lah yang pertama mencontohkannya.

Bagaimana dengan Sedekah Daging Kurban?

Memang benar bahwa daging kurban bisa disedekahkan kepada fakir miskin dan orang yang membutuhkan. Namun yang menjadi pembeda adalah niat dan hukum kurban itu sendiri. Kurban adalah ibadah khusus dengan syarat, waktu, dan tata cara tertentu. Tidak cukup hanya menyembelih hewan dan memberikannya kepada fakir miskin sambil berniat “menghadiahkan pahala” kepada orang yang telah wafat.

Berbeda halnya dengan sedekah biasa — yang memang diperbolehkan atas nama orang yang telah meninggal dunia, bahkan dianjurkan. Dalam konteks ini, sedekah, doa, dan amal jariyah justru lebih tepat dan sesuai tuntunan ketika ingin mengirim pahala kepada mereka yang telah mendahului kita.

Kapan Kurban untuk Orang meninggal Boleh Dilakukan?

Terdapat satu pengecualian yang disebutkan para ulama. Kurban atas nama diperbolehkan jika ada wasiat atau nazar dari yang bersangkutan semasa hidupnya. Dalam hal ini, kurban tersebut dilaksanakan sebagai bentuk menunaikan kewajiban orang yang meninggal, bukan sebagai ibadah hadiah dari orang yang masih hidup.

Sebagaimana firman Allah:

مِن بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَىٰ بِهَا أَوْ دَيْنٍ

“(Peninggalan itu dibagi) setelah dipenuhi wasiat yang dibuatnya atau (dibayar) utangnya.” (QS. An-Nisā’: 11)

Maka jika seorang ayah atau ibu semasa hidupnya pernah berkata, “Jika aku wafat, kurbankanlah satu kambing untukku setiap Iduladha,” dan itu disetujui dalam wasiat, maka anak atau ahli waris wajib menunaikannya — bukan karena ibadah hadiah, tapi karena amanah yang harus dilaksanakan.

Dari paparan dalil dan penjelasan ulama, kita memahami bahwa kurban adalah ibadah khusus (mahdhah) yang hanya diperintahkan untuk dilaksanakan oleh orang yang masih hidup. Tidak ada dalil yang membolehkan menghadiahkan pahala kurban kepada orang yang sudah wafat, kecuali jika mereka meninggalkan wasiat atau nazar.

⁠Jika ingin menghadiahkan pahala kepada orang tua atau kerabat yang telah wafat, maka bentuk terbaik adalah doa yang ikhlas, sedekah atas nama mereka, dan meneruskan amal jariyah mereka. Islam tidak melarang kita berbuat baik kepada yang sudah tiada, tetapi membimbing kita agar tetap berada di rel syariat dalam menyalurkan kasih dan rindu itu.

Allah Ta’ala berfirman:

وَقُلْ رَبِّ ٱرْحَمْهُمَا كَمَا رَبَّيَانِي صَغِيرًا

“Dan katakanlah: ‘Wahai Tuhanku, sayangilah mereka keduanya sebagaimana mereka berdua telah mendidikku di waktu kecil.’” (QS. Al-Isrā’: 24)

Inilah bentuk bakti yang paling mulia: mendoakan, bersedekah, menebar manfaat atas nama mereka, serta menjaga amal mereka tetap hidup. Bukan sekadar simbol ritual, tetapi pengabdian yang berakar pada iman dan ilmu. Wallahu A’lam. (*)

Wamenlu Anis Matta Ajak Masyarakat Baca Buku Rencana Strategis Pembebasan Al-Aqsa

JAKARTAMU.COM | Wakil Menteri Luar Negeri Anis Matta mengajak semua masyarakat Indonesia untuk membaca dan mendalami buku berjudul Rencana...
spot_img
spot_img

More Articles Like This