Kamis, Mei 8, 2025
No menu items!

Pagar Laut yang Terlupakan (1): Bayang-Bayang Penggusuran

Sebuah cerita bersambung terbaru karya Taufan Dwi Hidayat tentang seluk beluk kehidupan warga di sebuah kampung nelayan.

Must Read

DINI hari di kampung nelayan itu selalu disambut deburan ombak dan angin laut yang menghembus ke daratan. Perahu-perahu kayu berbaris rapi di bibir pantai, sebagian tertambat dengan tali tambang, sebagian lagi bergoyang pelan mengikuti ritme gelombang.

Di kejauhan, lampu-lampu kecil dari kapal-kapal penangkap ikan berkerlip seperti bintang yang jatuh ke permukaan air. Kampung itu telah berdiri di sana selama puluhan tahun, bahkan sejak sebelum Indonesia merdeka. Namun kini, sebuah kabar buruk mengusik ketenangan mereka.

Pak Dahlan, seorang nelayan yang sudah hampir enam dekade melaut, duduk di balai-balai kayu di depan rumahnya. Wajahnya keras seperti karang yang diterpa ombak selama bertahun-tahun, tetapi ada ketegangan yang sulit disembunyikan. Di tangannya tergenggam selembar kertas berkop perusahaan dan stempel pemerintah daerah. Surat itu bukan sekadar pemberitahuan biasa—itu adalah perintah untuk mengosongkan tanah mereka dalam waktu tiga bulan.

“Kita harus bicara,” suara Pak Dahlan terdengar serak ketika sekelompok warga berkumpul di halaman rumahnya. Ada Pak Umar, pemilik warung kecil di tepi pantai, Mak Sumi yang menjual ikan asap ke kota, juga para nelayan lain yang sejak kecil sudah akrab dengan laut. Semua duduk dengan wajah tegang.

“Apa benar, Pak? Kita bakal diusir?” suara seorang pemuda, Hasan, meluncur penuh kegelisahan. Ia baru saja menikah tiga bulan lalu dan sedang membangun rumah kecil di belakang rumah orang tuanya.

Pak Dahlan menarik napas dalam. “Ini bukan cuma isu. Ini sudah keputusan. Mereka mau bangun proyek besar di tanah kita. Kawasan wisata, pelabuhan, entah apalah namanya. Yang jelas, mereka ingin kita pergi.”

“Kita ini nelayan, Pak. Kalau bukan di sini, kita mau tinggal di mana?” suara Pak Umar penuh keputusasaan.

“Itulah masalahnya,” jawab Pak Dahlan. “Mereka hanya menawarkan ganti rugi yang tak seberapa. Tanah kita dihargai jauh di bawah harga pasar. Dan kalau kita menolak, kita dianggap melawan aturan.”

Keheningan menggantung di udara. Warga saling bertukar pandang. Mereka tahu, melawan penguasa bukan perkara mudah.

Beberapa hari berlalu. Isu penggusuran semakin kencang berhembus. Orang-orang dari perusahaan mulai berkeliaran di desa. Mereka datang dengan mobil-mobil mewah, membawa dokumen-dokumen yang mereka sodorkan ke warga dengan senyum ramah yang penuh tipu daya.

“Ini kesempatan emas, Pak,” kata seorang lelaki berkacamata, yang memperkenalkan diri sebagai perwakilan perusahaan. “Kami menawarkan harga terbaik. Dengan uang ini, Bapak dan keluarga bisa pindah ke tempat yang lebih layak.”

Pak Dahlan menerima kertas itu dengan tangan gemetar. Matanya menyusuri angka-angka yang tercetak rapi. Nilainya jauh di bawah harga tanah di desa sebelah. Ini bukan tawaran, ini penghinaan.

“Ini harga yang tidak masuk akal,” kata Pak Dahlan, menahan marah. “Kami bukan hanya kehilangan tanah, tapi juga laut. Laut adalah sumber hidup kami.”

Lelaki berkacamata itu tersenyum kecil, seolah sudah menduga jawaban itu. “Saya mengerti, Pak Dahlan. Tapi ini keputusan dari atas. Kami hanya menjalankan tugas.”

Beberapa warga yang lebih lemah imannya mulai tergoda. Ada yang berpikir bahwa menerima uang dan pergi adalah pilihan terbaik daripada harus berurusan dengan pemerintah dan perusahaan. Namun, bagi yang lain, ini adalah soal harga diri dan keberlangsungan hidup.

Seminggu kemudian, spanduk-spanduk mulai muncul di sudut-sudut desa. “TOLAK PENGGUSURAN!” “TANAH KAMI, HAK KAMI!” Tulisan-tulisan itu menjadi simbol perlawanan yang belum tentu bisa bertahan lama.

Satu malam, seorang pemuda datang tergesa-gesa ke rumah Pak Dahlan. Wajahnya pucat, keringat mengalir di pelipisnya.

“Pak! Ada orang-orang mencurigakan di ujung kampung,” katanya dengan napas memburu.

Pak Dahlan segera berdiri. Beberapa warga lain yang berkumpul langsung mengikuti. Mereka berjalan ke arah yang dimaksud, melewati gang-gang sempit di antara rumah-rumah panggung yang berdiri di atas pasir.

Di ujung desa, beberapa pria berperawakan garang berdiri dalam gelap. Mereka bukan warga desa. Wajah mereka keras, tangan mereka penuh tato, dan mata mereka menatap tajam ke arah warga yang datang mendekat.

Salah satu dari mereka tersenyum sinis. “Santai, Pak. Kami cuma lihat-lihat saja. Dengar-dengar, sebentar lagi tempat ini bakal kosong.”

Pak Dahlan mengepalkan tangannya. “Kalian siapa?”

Orang itu tidak menjawab, hanya tertawa kecil sebelum berbalik pergi, meninggalkan udara yang penuh ancaman.

Itu bukan peringatan. Itu ancaman nyata.

Malam itu, tak ada yang bisa tidur nyenyak di kampung nelayan itu. Bayang-bayang penggusuran telah menjadi nyata, dan perlawanan baru saja dimulai.

(Bersambung ke seri-2: Di Balik Proyek Raksasa)

Wamenlu Anis Matta Ajak Masyarakat Baca Buku Rencana Strategis Pembebasan Al-Aqsa

JAKARTAMU.COM | Wakil Menteri Luar Negeri Anis Matta mengajak semua masyarakat Indonesia untuk membaca dan mendalami buku berjudul Rencana...
spot_img
spot_img

More Articles Like This