Jumat, Juni 13, 2025
No menu items!

Pagar Laut yang Terlupakan (20-Tamat): Pertempuran Terakhir

Must Read

FAJAR menyingsing di langit timur, mewarnai cakrawala dengan semburat jingga yang berpendar di atas lautan. Di kejauhan, Pulau Kecil tampak sunyi, seolah tak terjadi apa-apa semalam. Tapi Rifki, Tegar, dan Hasan tahu bahwa gelombang perlawanan baru saja dimulai.

Di dalam hutan bakau tempat mereka bersembunyi, Rifki menggenggam erat sebuah parang. Tubuhnya masih basah oleh keringat dan lumpur setelah semalaman mereka berpindah dari satu tempat ke tempat lain untuk menghindari kejaran Bram dan anak buahnya.

Hasan duduk di atas akar bakau, menarik napas dalam-dalam. “Kita tak bisa terus bersembunyi,” katanya lirih.

Tegar mengangguk, matanya penuh kelelahan. “Tapi kita juga tak bisa menyerang tanpa rencana.”

Rifki menatap mereka berdua. “Bram sudah semakin dekat. Jika kita tetap bertahan di sini, kita hanya akan mati tanpa perlawanan.”

Hasan terdiam sejenak, lalu berkata, “Kita harus kembali ke desa. Kita kumpulkan orang-orang. Ini tanah kita. Kita harus melawannya.”

Sementara itu, di pelabuhan, Bram berdiri di atas kapal dengan wajah dingin. Malam tadi, ia gagal menangkap Rifki dan kawan-kawannya, dan itu membuatnya semakin marah.

Seorang anak buahnya mendekat. “Mereka menghilang di sekitar hutan bakau, Bos. Kami sudah menyisirnya, tapi tak ada tanda-tanda mereka.”

Bram menatap ke arah hutan di kejauhan. “Mereka pasti akan kembali ke desa,” katanya. “Siapkan anak-anak. Kita serang mereka sebelum mereka sempat mengumpulkan kekuatan.”

Ia berbalik ke arah beberapa preman bayaran dan aparat berseragam yang berdiri di dek. “Hari ini, kita akhiri semuanya.”

Di desa, suasana tegang sudah terasa sejak subuh. Penduduk berkumpul di mushala, wajah-wajah mereka penuh kecemasan.

“Kita tak bisa hanya diam menunggu,” kata Pak Widi dengan suara lantang. “Mereka akan datang kapan saja.”

Seorang pria tua berdiri di sudut ruangan. “Tapi kita tak punya senjata! Bagaimana kita bisa melawan?”

Rifki melangkah ke depan. “Kita mungkin tak punya senjata api, tapi kita punya keberanian. Kita punya tanah ini.”

Tegar mengangguk. “Jika kita biarkan mereka mengambil tanah kita, apa yang akan kita wariskan ke anak-cucu kita?”

Suasana hening. Lalu, satu per satu, para lelaki desa mulai berdiri. Beberapa mengambil bambu runcing, yang lain membawa parang, batu, dan apa pun yang bisa digunakan untuk bertahan.

Pak Widi menatap mereka semua. “Baik. Kita lawan.”

Ketika matahari sudah tinggi, suara gemuruh mesin kendaraan terdengar mendekat dari arah pelabuhan. Truk-truk besar berhenti di tepi desa, menurunkan puluhan preman dan aparat bersenjata.

Bram turun dari salah satu truk, matanya menyapu perkampungan. “Bakar tempat ini jika mereka melawan,” katanya dingin.

Seorang preman menyalakan obor dan mulai berjalan ke arah rumah-rumah penduduk.

Namun sebelum ia sempat bergerak lebih jauh, sebuah batu melayang dan menghantam kepalanya. Ia tersungkur ke tanah dengan darah mengalir dari dahinya.

Serangan telah dimulai.

Rifki berlari di antara rumah-rumah, menghindari peluru yang ditembakkan secara acak oleh anak buah Bram. Ia melihat Hasan bertarung dengan seorang preman, menghantamnya dengan kayu hingga lawannya tumbang.

Di sisi lain, Pak Widi memimpin sekelompok warga untuk menggempur para penyerang dengan bambu runcing dan parang. Suara jeritan dan benturan terdengar di mana-mana.

Bram mengamati pertempuran dari kejauhan. Ia mencabut pistolnya dan berjalan perlahan ke arah Rifki.

Rifki melihatnya datang, tapi sebelum ia bisa bereaksi, Bram sudah mengarahkan pistolnya ke kepala Rifki.

“Sudah cukup,” kata Bram dengan senyum dingin. “Kalian kalah.”

Rifki menatapnya tanpa rasa takut. “Kami tak akan pernah kalah. Karena ini bukan hanya tentang tanah. Ini tentang kehormatan.”

Bram tertawa kecil. “Kehormatan tak ada harganya.”

Ia menarik pelatuk—

Tapi sebelum peluru melesat, Hasan menerjang Bram dari samping, menjatuhkan pistolnya ke tanah. Mereka berdua berguling di atas pasir, saling pukul dengan brutal.

Rifki mengambil kesempatan itu untuk meraih pistol Bram. Ia mengarahkannya ke kepala musuh bebuyutannya.

Bram terdiam, matanya menatap Rifki dengan tajam.

“Ayo, tembak aku,” katanya, suaranya penuh tantangan.

Rifki menahan napas. Jari telunjuknya berada di pelatuk.

Lalu—

Ia menurunkan pistol itu. “Tidak. Aku tak akan menjadi seperti dirimu.”

Bram tersenyum sinis. “Bodoh.”

Tapi sebelum ia bisa bergerak, Pak Widi datang dari belakang dan menghantam kepala Bram dengan sebatang kayu. Bram roboh ke tanah, tak bergerak lagi.

Pertempuran berakhir saat aparat pemerintah akhirnya turun tangan, terlambat seperti biasa. Desa hancur, tapi rakyat tetap berdiri. Para preman ditangkap, dan kasus penggusuran paksa akhirnya mencuat ke media.

Namun, meski Bram dan antek-anteknya lenyap, perlawanan belum selesai. Karena di tempat lain, di tanah-tanah lain, ketidakadilan masih terus terjadi. Dan selama itu masih ada, perlawanan akan selalu hidup. (*)

Serangan Udara Israel Tewaskan Delapan Warga Palestina di Gaza

JAKARTAMU.COM | Serangan udara membabi buta Israel menewaskan delapan warga Palestina pada Kamis (12/5/2025) sore. Menurut sumber medis, sasaran...
spot_img
spot_img

More Articles Like This