MALAM itu, setelah iring-iringan mobil preman menghilang dari jalanan desa, warga masih berjaga di sekitar mushala. Wajah-wajah mereka dipenuhi kecemasan, meskipun kedatangan polisi tadi berhasil mengusir orang-orang suruhan Arief. Namun, semua tahu bahwa ini bukanlah kemenangan. Ini hanya sebuah jeda sebelum badai yang lebih besar menghantam.
Pak Dahlan berdiri di tengah kerumunan, wajahnya tegas namun lelah. “Mereka tidak akan berhenti sampai kita menyerah,” katanya pelan. “Tapi kita juga tidak akan menyerah.”
Pak Umar menatap wajah-wajah warga yang bersiap mendengar apa pun langkah selanjutnya. “Kita harus lebih terorganisir. Kita tidak bisa hanya bereaksi. Kita harus bergerak lebih dulu.”
Hasan yang berdiri di sebelah Pak Umar mengangguk setuju. “Kita butuh rencana. Tidak hanya sekadar bertahan, tapi juga menyerang.”
“Tapi bagaimana caranya?” tanya Rifki, pemuda yang sebelumnya membawa kabar ancaman. “Mereka punya uang, punya orang-orang kuat di belakang mereka. Kita ini hanya nelayan dan petani.”
Pak Dahlan tersenyum kecil. “Nelayan dan petani yang memiliki tanah dan laut yang ingin mereka rampas. Itu artinya kita punya sesuatu yang berharga. Kita hanya perlu cara untuk mempertahankannya.”
Suasana hening sejenak. Setiap orang menyadari kebenaran kata-kata itu.
“Kita perlu membangun tekanan balik,” ujar Rina yang baru tiba dari kota. Wajahnya lelah setelah seharian menghubungi berbagai pihak. “Kita harus membuat kasus ini jadi perhatian publik. Media, aktivis, siapa saja yang bisa mengangkat suara kita.”
Beberapa warga tampak ragu. “Apa itu cukup?” tanya Mak Sumi.
“Kalau kita hanya diam, mereka akan melibas kita,” jawab Rina. “Tapi kalau kita melawan dengan suara kita, mereka tidak bisa seenaknya. Apalagi kalau orang-orang mulai peduli dengan perjuangan kita.”
Pak Umar mengangguk. “Baik. Kita buat gerakan.”
Hasan menatap Rina. “Apa yang harus kita lakukan pertama?”
“Kumpulkan bukti. Rekam ancaman mereka, foto dokumen tanah kalian, wawancara warga yang sudah diintimidasi,” jawab Rina cepat. “Aku akan menyebarkannya lewat jaringan media.”
Semua mulai bergerak. Malam itu, warga desa yang tadinya pasrah mulai menemukan kembali semangat mereka.
Keesokan harinya, desa mulai berbenah. Setiap sudut yang bisa menjadi bukti perjuangan mereka didokumentasikan. Hasan dan Rifki berkeliling dengan kamera ponsel, merekam kondisi rumah-rumah warga, lahan pertanian yang masih produktif, serta laut yang menjadi sumber penghidupan mereka.
“Kita buat video tentang kehidupan di sini,” ujar Hasan. “Biar orang-orang tahu kita bukan sekadar angka di atas kertas, tapi manusia dengan hak hidup.”
Di rumah Pak Dahlan, Rina membantu warga menuliskan kronologi kasus ini. Ia mengunggahnya ke media sosial dengan tagar yang mulai menyebar: #SelamatkanPagarLaut.
Pak Umar yang sudah lama dikenal sebagai tokoh masyarakat mulai menghubungi beberapa kenalannya di kota. Salah satunya seorang jurnalis yang pernah meliput kasus serupa.
“Kami butuh suara yang lebih besar,” kata Pak Umar saat berbicara di telepon. “Bisakah kau bantu?”
Jurnalis itu terdiam sejenak. “Kasus seperti ini selalu berbahaya, Pak Umar. Tapi aku akan coba angkat.”
Ketika hari mulai beranjak sore, berita tentang kasus ini mulai muncul di beberapa media lokal. Beberapa aktivis lingkungan juga mulai menghubungi Rina, menawarkan dukungan.
Namun, di balik semua itu, bahaya semakin mendekat.
Malam harinya, sebuah mobil hitam berhenti di depan rumah kepala desa, Pak Surya. Dari dalamnya keluar seorang pria berpakaian rapi dengan sikap arogan. Arief.
Pak Surya yang sudah tahu siapa dia, hanya bisa menghela napas. “Ada apa malam-malam begini, Pak Arief?”
Arief tersenyum kecil. “Aku dengar warga desa ini mulai macam-macam.”
Pak Surya mencoba menjaga sikapnya. “Warga hanya ingin mempertahankan hak mereka.”
Arief mendekat, suaranya pelan namun penuh ancaman. “Kami sudah sepakat, Pak Surya. Tanah ini harus dibebaskan. Jika Anda tidak bisa mengendalikan mereka, maka Anda juga harus siap menerima akibatnya.”
Pak Surya menelan ludah. Ia tahu posisinya lemah. Ia hanya seorang kepala desa dengan kekuasaan terbatas, sementara Arief memiliki akses ke banyak pihak, termasuk aparat.
“Aku sudah berusaha menenangkan mereka,” kata Pak Surya pelan.
“Tidak cukup,” potong Arief tajam. “Pastikan mereka berhenti sebelum semuanya semakin buruk.”
Tanpa menunggu jawaban, Arief berbalik masuk ke dalam mobilnya dan pergi. Pak Surya berdiri di depan rumahnya dengan dada sesak. Ia tahu, ancaman itu bukan main-main.
Keesokan harinya, warga dikejutkan oleh sebuah pengumuman dari balai desa. Pak Surya mengumumkan bahwa pemerintah daerah telah memberikan lampu hijau bagi proyek reklamasi yang akan menggusur desa mereka.
Suasana mendadak gaduh.
“Ini gila!” teriak Hasan.
“Kita baru saja mulai melawan, lalu tiba-tiba ada keputusan ini?” ujar Rifki tak percaya.
Pak Dahlan menggenggam selembar kertas yang diberikan oleh Pak Surya. Surat itu berisi pernyataan resmi bahwa desa mereka akan dijadikan bagian dari proyek strategis nasional. Artinya, segala bentuk perlawanan akan dianggap sebagai penghambat pembangunan.
Rina yang membaca surat itu menatap Pak Dahlan. “Mereka bergerak lebih cepat dari yang kita duga. Ini adalah upaya mereka untuk menggembosi semangat kita.”
“Tapi kita tidak akan mundur,” ujar Pak Umar. “Jika ini sudah jadi proyek nasional, kita akan buat ini jadi isu nasional juga.”
Di kejauhan, sebuah truk besar berhenti di depan desa. Orang-orang berseragam turun, membawa spanduk besar bertuliskan:
“PROYEK STRATEGIS NASIONAL. HARAP KERJA SAMA!”
Beberapa warga mulai merasa gentar. Tapi Pak Dahlan tahu, ini bukan saatnya untuk mundur.
“Kita akan melawan,” katanya mantap. “Dengan semua yang kita punya.”
Dan di depan desa, ancaman baru mulai mengintai mereka.
(Bersambung ke seri-5: Ombak yang Menggulung Harapan)