MALAM itu, dalam keheningan yang menyesakkan, para tokoh perlawanan berkumpul di sebuah rumah tersembunyi di tepian Sungai Winongo. Lampu minyak yang redup menerangi wajah-wajah penuh tekad dan kecemasan. Di antara mereka, Jatmiko memimpin rapat kecil itu dengan suara yang mantap.
“Waktu kita terbatas,” katanya pelan namun tegas. “Inggris dan Sultan Raja makin memperketat pengawasan. Kita harus bergerak sebelum semuanya terlambat.”
Rencana besar mulai disusun: serangan kecil-kecilan ke pos-pos penjaga, sabotase persenjataan Inggris, dan penyebaran propaganda untuk membangkitkan semangat rakyat.
Surat-surat dari Pangeran Mangkudiningrat yang dikirim diam-diam menjadi panduan moral dan strategi yang sangat berharga. Pesan-pesannya membakar semangat sekaligus memberikan harapan akan adanya keadilan suatu hari nanti.
Namun, risiko semakin besar. Pengkhianatan mengintai dari dalam, dan setiap langkah harus dilakukan dengan penuh kehati-hatian.
Di sisi lain, Sultan Hamengku Buwana III mulai merasakan gelisah yang mendalam. Ia tahu bahwa kekuasaannya rapuh dan bergantung pada penjajah asing. Namun, ia terperangkap oleh situasi yang sulit dilepaskan.
Dalam diam, ia mulai mencari jalan tengah—antara mempertahankan kedudukan dan meredam gejolak rakyat yang semakin kuat.
Rencana dalam bayang-bayang itu menjadi babak baru perjuangan yang penuh dengan ketidakpastian, keberanian, dan pengorbanan.
(Bersambung seri ke-18: Suara dari Pengasingan)