Rabu, Mei 28, 2025
No menu items!
spot_img

Pagar Laut yang Terlupakan (11): Matahari di Ujung Fajar

Must Read

FAJAR merayap perlahan di ufuk timur. Cahaya samar mulai mengusir kegelapan yang menyelimuti desa pesisir itu. Di sepanjang jalan utama desa, puluhan warga sudah berkumpul. Mereka duduk bersila di atas tanah, berhadap-hadapan dengan barisan alat berat yang tertahan di kejauhan.

Pak Dahlan berdiri di barisan depan bersama Hasan dan Tegar. Mata mereka terpaku pada deretan ekskavator yang berbaris seperti monster baja siap menerkam. Di belakangnya, puluhan polisi berseragam lengkap bersiaga.

“Dengar, kita tidak boleh terpancing emosi,” ujar Pak Umar, yang juga berdiri di depan. “Tetap tenang dan jangan bergerak dari posisi kita.”

Suasana hening sejenak, hanya suara ombak yang terdengar dari kejauhan. Lalu, seorang pria berbadan tegap melangkah maju dari pihak perusahaan.

Namanya Heru, manajer lapangan proyek itu. Ia menatap warga dengan tatapan meremehkan.

“Kami sudah memberi kalian cukup waktu untuk pergi dengan baik-baik,” katanya dengan suara dingin. “Tapi karena kalian masih keras kepala, maka mulai hari ini, kami akan mengambil alih lahan ini.”

Pak Dahlan melangkah maju. “Tanah ini bukan milik kalian! Ini tanah kami, tanah leluhur kami!”

Heru mendengus. “Tanah ini sudah dibeli secara sah oleh perusahaan. Kalian sebaiknya tidak menghalangi proyek ini, atau kalian akan menyesal.”

Seorang polisi berpangkat perwira mendekati Pak Dahlan. “Bapak dan warga lainnya harus membubarkan diri. Jika tetap bertahan, kami akan menindak sesuai prosedur.”

Pak Dahlan tidak bergeming. “Kami tidak akan pergi.”

Heru memberi isyarat pada operator ekskavator. Mesin-mesin raksasa itu mulai menderu, menggetarkan tanah di bawah mereka. Warga tetap diam di tempat.

Hasan melirik ke arah kamera yang telah disiapkan di beberapa sudut. Semua ini sedang direkam.

Suara mesin semakin keras. Salah satu ekskavator mulai bergerak maju. Debu berterbangan. Warga tetap bertahan.

Saat ekskavator hanya beberapa meter dari barisan warga, operatornya tampak ragu. Ia menoleh ke arah Heru, seolah meminta instruksi lebih lanjut.

Heru mendekat dan berteriak, “Teruskan!”

Namun tiba-tiba, suara ledakan kecil terdengar dari kejauhan. Semua orang menoleh. Asap mengepul dari salah satu gardu listrik di pinggir desa.

Seketika, listrik padam. Mesin ekskavator yang tergantung pada pasokan listrik langsung berhenti beroperasi.

Suasana mendadak kacau. Polisi dan pihak perusahaan kebingungan.

Tegar berbisik pada Hasan, “Siapa yang melakukannya?”

Hasan menggeleng. “Aku tidak tahu… tapi itu memberi kita sedikit waktu.”

Sementara itu, di luar desa, Rifki berlari di tengah gelap bersama pria yang menyelamatkannya. Mereka menyelinap melewati gang-gang sempit kota kecil itu.

“Siapa kau sebenarnya?” Rifki bertanya sambil terengah-engah.

Pria itu meliriknya. “Panggil aku Rudi. Aku diutus seseorang yang peduli dengan perjuangan kalian.”

Rifki masih curiga. “Mengapa kau menolongku?”

Rudi tersenyum tipis. “Karena aku benci ketidakadilan.”

Mereka terus berlari hingga sampai di sebuah rumah kecil di pinggiran kota. Rudi membuka pintu dan memberi isyarat agar Rifki masuk.

“Di sini kau aman untuk sementara. Tapi kita harus segera kembali ke desa. Mereka akan segera menggusur tanah kalian.”

Rifki mengepalkan tangan. “Aku harus kembali sebelum terlambat!”

Di desa, ketegangan meningkat. Heru, yang kesal karena gangguan mendadak itu, mulai kehilangan kesabaran.

“Baik! Kalau kalian ingin melawan, kita akan lihat siapa yang menang!” teriaknya.

Polisi mulai bergerak. Warga berpegangan erat, membentuk barikade manusia.

Tiba-tiba, suara klakson mobil terdengar dari arah jalan utama. Semua orang menoleh.

Beberapa mobil dengan logo media massa berhenti di tepi jalan. Wartawan dengan kamera dan mikrofon keluar dari kendaraan mereka.

Heru tampak panik. Ia tidak menyangka kedatangan mereka secepat ini.

Seorang wartawan wanita melangkah maju dengan kamera menyala. “Kami menerima laporan tentang penggusuran paksa di desa ini. Apakah Anda bisa menjelaskan apa yang terjadi?”

Heru berusaha tersenyum, meski terlihat jelas kegugupannya. “Ini adalah proyek legal. Warga telah diberi kompensasi yang layak, dan kami hanya menjalankan tugas.”

Pak Dahlan langsung angkat bicara. “Kompensasi? Yang kalian tawarkan tidak cukup untuk membeli sebidang tanah di tempat lain! Dan kalian menggunakan kekerasan untuk mengusir kami!”

Kamera merekam semua yang terjadi. Polisi yang tadinya siap bertindak kini tampak ragu. Mereka sadar bahwa tindakan mereka bisa terekam dan disiarkan ke publik.

Warga mulai berteriak, “Kami tidak akan pergi! Ini tanah kami!”

Heru mendekati seorang polisi dan berbisik, “Kita harus segera bertindak sebelum keadaan semakin sulit!”

Namun perwira polisi itu tampak ragu. “Jika kita melakukan sesuatu sekarang, media akan menyaksikan. Ini bisa berbahaya bagi kami.”

Heru semakin kesal. Ia menoleh ke arah salah satu preman bayaran yang berdiri di dekat alat berat.

“Kerahkan anak buahmu,” bisiknya.

Preman itu mengangguk dan mulai bergerak diam-diam.

Di tempat lain, Rifki dan Rudi melaju dengan sepeda motor ke arah desa.

“Dengar, kita tidak bisa langsung masuk begitu saja,” kata Rudi. “Mereka pasti sudah menutup akses jalan utama.”

Rifki berpikir cepat. “Ada jalur lain, melewati hutan bakau di belakang desa.”

Rudi mengangguk. “Baik, kita ambil jalur itu.”

Mereka mempercepat laju motor. Saat itu juga, Rifki melihat kepulan asap di kejauhan. Ia tahu, waktunya hampir habis.

Di desa, beberapa preman mulai menyelinap di antara kerumunan, bersiap untuk memicu kerusuhan.

Hasan yang waspada melihat gerak-gerik mencurigakan itu. Ia berbisik pada Tegar, “Mereka akan mulai membuat kekacauan. Kita harus menghentikannya sebelum terlambat.”

Tegar mengangguk. “Aku akan peringatkan warga agar tetap waspada.”

Namun sebelum ia sempat bergerak, seorang preman tiba-tiba meneriakkan sesuatu yang provokatif. “Jangan mau ditindas! Hancurkan mereka!”

Beberapa warga yang tidak tahu siapa yang berteriak itu mulai panik. Suasana memanas.

Polisi mulai bergerak, bersiap menangkap siapa saja yang terlihat menciptakan keributan.

Di tengah kekacauan itu, dari kejauhan, suara motor terdengar.

Rifki dan Rudi akhirnya tiba di desa.

Rifki melompat turun dari motor dan berlari ke tengah kerumunan. “Berhenti! Jangan terprovokasi!”

Suara Rifki menggema. Semua orang menoleh padanya.

Pak Dahlan terkejut. “Rifki! Bagaimana kau bisa keluar?”

“Penjelasannya nanti! Sekarang kita harus tetap tenang!” Rifki menatap kamera media. “Mereka sedang mencoba memancing kita agar terlihat sebagai pihak yang bersalah!”

Warga mulai sadar. Mereka kembali diam, tetap bertahan di tempat.

Heru menatap Rifki dengan mata membara. “Sial…!”

Perlawanan belum berakhir.

Matahari mulai naik, menghangatkan desa yang masih bertahan.

Tapi pertarungan ini baru saja dimulai. (*)

(Bersambung ke seri-12: Api dalam Sekam)

Pagar Laut yang Terlupakan (12): Api dalam Sekam

RIFKI berdiri tegak di tengah kerumunan, napasnya masih tersengal usai berlari dari motor yang mengantarkannya ke desa. Warga yang...
spot_img
spot_img

More Articles Like This