Kamis, Mei 29, 2025
No menu items!
spot_img

Pagar Laut yang Terlupakan (12): Api dalam Sekam

Must Read

RIFKI berdiri tegak di tengah kerumunan, napasnya masih tersengal usai berlari dari motor yang mengantarkannya ke desa. Warga yang semula nyaris terpancing provokasi kini mulai tenang, menyadari bahwa ada yang berusaha mengadu domba mereka.

Di seberang, Heru tampak menggertakkan giginya. Ia memandang Rifki dengan sorot mata penuh kebencian. Kemunculan pemuda itu seperti duri dalam rencananya. Seharusnya, situasi sudah meledak dan polisi punya alasan untuk menangkap warga yang menolak pergi.

Pak Dahlan segera menghampiri Rifki. “Nak, kau baik-baik saja?”

Rifki mengangguk. “Aku berhasil keluar berkat bantuan seseorang. Aku akan jelaskan nanti, Pak. Yang penting sekarang, kita tidak boleh terpancing.”

Tegar, yang berdiri tak jauh dari mereka, berbisik, “Mereka pasti tidak akan tinggal diam. Kita harus bersiap untuk kemungkinan terburuk.”

Hasan melirik ke arah barisan preman bayaran yang masih menyelinap di antara warga. “Kita harus mencari cara untuk mengusir mereka sebelum mereka memulai sesuatu lagi.”

Sementara itu, wartawan-wartawan yang masih merekam kejadian mulai mendekati Rifki, menyorot wajahnya yang penuh debu dan keringat.

“Anda siapa?” tanya seorang reporter wanita sambil mengarahkan mikrofonnya.

“Nama saya Rifki. Saya salah satu warga yang menolak penggusuran ini,” jawabnya tegas. “Kami hanya ingin mempertahankan tanah kami. Kami tidak menolak pembangunan, tapi bukan dengan cara seperti ini!”

Reporter itu melanjutkan, “Kami mendapat laporan bahwa warga mendapat intimidasi dan kekerasan. Apakah itu benar?”

Rifki mengangguk. “Benar. Saya sendiri baru saja lolos dari penahanan yang tidak jelas. Mereka mencoba membungkam kami dengan berbagai cara.”

Heru melotot mendengar jawaban itu. Ia segera mendekati perwira polisi yang bertanggung jawab di lapangan. “Kita harus hentikan bocah ini sebelum dia bicara lebih banyak!”

Namun sang perwira hanya diam, terlihat semakin ragu. Kehadiran media telah mengubah segalanya. Jika mereka bertindak ceroboh, semua akan disaksikan oleh masyarakat luas.

Di tempat lain, di sebuah kantor mewah di ibu kota, seorang pria paruh baya duduk di balik meja besar. Namanya Irwan, pemilik perusahaan yang menjadi dalang di balik penggusuran ini.

Ia menonton siaran langsung dari lapangan melalui layar besar di hadapannya. Wajahnya tetap datar, tapi matanya menyiratkan ketidaksenangan.

Seorang asistennya masuk tergesa-gesa. “Pak, kita harus segera bertindak. Situasi di lapangan mulai tidak terkendali.”

Irwan tetap tenang. “Heru masih di sana. Dia tahu apa yang harus dilakukan.”

“Tapi, Pak, media sudah mulai meliput. Jika ini terus berlanjut, kita bisa mendapat tekanan dari publik.”

Irwan menyandarkan punggungnya. “Kalau begitu, kita harus buat langkah lain. Hubungi orang-orang kita di pemerintahan. Pastikan berita ini tidak berkembang terlalu jauh.”

Asisten itu mengangguk dan segera keluar. Irwan kembali menatap layar, jari-jarinya mengetuk meja dengan irama pelan.

“Permainan ini belum selesai,” gumamnya.

Di lapangan, ketegangan masih terasa. Heru, yang merasa semakin terdesak, tiba-tiba melangkah maju dan berbicara dengan lantang.

“Kalian semua harus tahu, proyek ini untuk kepentingan negara! Ini bukan hanya soal tanah kalian, tapi soal kemajuan bangsa!” suaranya menggema.

Rifki menatapnya tajam. “Kalau memang ini untuk kepentingan negara, kenapa kalian menggunakan preman? Kenapa warga diintimidasi? Kenapa kami tidak diberi ganti rugi yang layak?”

Heru tersenyum sinis. “Kau masih muda, anak muda. Kau tidak mengerti bagaimana dunia bekerja.”

Pak Dahlan ikut bicara, suaranya bergetar penuh emosi. “Kami mungkin hanya rakyat kecil, tapi kami tidak bodoh. Kami tahu mana yang benar dan mana yang hanya kedok!”

Suara sorak-sorai warga menggema.

Wartawan terus merekam, menangkap setiap detik konfrontasi ini.

Tiba-tiba, salah satu preman yang bersembunyi di tengah kerumunan melompat ke depan dan melempar sesuatu—sebuah batu besar.

Batu itu melayang cepat, menuju Rifki.

Rifki refleks menghindar, tapi batu itu tetap mengenai bahunya. Ia terhuyung, menahan sakit.

Warga berteriak.

“Sabar! Jangan terpancing!” seru Hasan, mencoba mencegah situasi semakin panas.

Namun semua sudah terlambat. Kekacauan mulai pecah. Preman-preman bayaran langsung memanfaatkan momen ini untuk menyerang, berpura-pura sebagai warga yang marah.

Polisi bergerak. Gas air mata ditembakkan ke udara.

Asap putih memenuhi udara. Warga berhamburan, batuk-batuk, matanya pedih.

Rifki berusaha tetap berdiri, tapi matanya berair karena gas. Di tengah kabut gas, ia melihat Heru tersenyum puas.

Tegar menarik tangan Rifki. “Kita harus mundur dulu! Ini jebakan!”

Dengan berat hati, Rifki dan warga lain terpaksa mundur dari lapangan utama.

Para preman mulai merusak barang-barang, membuat situasi seolah-olah warga yang berbuat onar.

Heru melangkah mendekati kamera wartawan yang masih menyala. Dengan suara tenang, ia berkata, “Lihat sendiri, mereka yang memulai kerusuhan. Kami hanya mencoba menjalankan tugas.”

Kebohongan itu kini terekam di layar kaca.

Malam itu, di rumah Pak Dahlan, para warga berkumpul dengan wajah lelah dan mata merah akibat gas air mata.

“Ini semakin sulit,” gumam Hasan.

“Kita harus mencari cara lain,” kata Pak Dahlan. “Kalau kita terus bertahan seperti ini, mereka akan terus menyudutkan kita.”

Rifki mengepalkan tangannya. “Kita tidak boleh menyerah. Jika mereka bisa bermain kotor, kita harus lebih pintar.”

Tegar menatapnya. “Apa rencanamu?”

Rifki menghela napas dalam. “Kita harus mencari bukti. Bukti yang tak bisa mereka sangkal. Jika kita bisa membuktikan bahwa tanah ini diambil secara ilegal, kita punya kesempatan.”

Pak Dahlan mengangguk. “Tapi kita butuh orang yang tahu cara mencari dokumen itu.”

Hasan berpikir sejenak, lalu berkata, “Aku tahu seseorang. Dulu dia bekerja di pemerintahan, tapi sekarang bersembunyi karena tahu terlalu banyak. Mungkin dia bisa membantu.”

Mereka saling berpandangan. Ini mungkin satu-satunya cara untuk membalikkan keadaan.

Di luar, angin laut berhembus kencang. Pagar laut yang telah terlupakan masih berdiri kokoh, seperti saksi bisu dari perlawanan yang terus berlanjut.

Pertarungan belum berakhir.

(Bersambung seri ke-13: Jejak di Balik Tirai)

Prabowo dan Macron Tinjau Pasukan dari Atas Maung, Simbol Kemitraan Strategis RI–Prancis

JAKARTAMU.COM - Presiden Republik Indonesia Prabowo Subianto dan Presiden Prancis Emmanuel Macron melakukan pemeriksaan pasukan dari atas kendaraan taktis...
spot_img
spot_img

More Articles Like This