RIFKI dan Tegar tiba di dekat dermaga saat langit masih kelabu ketika. Mereka bersembunyi di balik tumpukan peti kayu yang mulai lapuk, mengamati gudang tua yang mereka yakini sebagai tempat Hasan ditahan.
Di depan gudang, dua pria bersenjata berjaga. Rifki mengenali salah satunya—Bram, tangan kanan Heru yang terkenal kejam.
“Kita tak bisa masuk begitu saja,” bisik Tegar.
Rifki mengangguk. “Kita butuh pengalihan.”
Saat mereka sedang menyusun rencana, langkah kaki mendekat. Mereka menahan napas. Seorang lelaki tua yang mengenakan caping berjalan melewati mereka, membawa jaring ikan di pundaknya. Lelaki itu berhenti di dekat mereka, lalu menoleh perlahan.
“Rifki, Tegar?” bisiknya lirih.
Rifki tersentak. “Pak Amir?”
Pak Amir adalah nelayan tua yang sejak awal menolak menjual tanahnya kepada Irwan. Ia selalu menjadi salah satu pendukung perlawanan rakyat.
“Apa yang kalian lakukan di sini?” tanyanya dengan suara cemas.
“Kami mencari Hasan. Kami yakin dia ditahan di dalam gudang itu,” jawab Rifki.
Pak Amir mengangguk pelan. “Aku bisa membantu.”
Tegar menatapnya ragu. “Tapi bagaimana?”
Pak Amir tersenyum tipis. “Aku masih punya beberapa teman di sini. Aku bisa membuat sedikit keributan agar perhatian mereka teralihkan. Kalian harus bertindak cepat.”
Rifki dan Tegar saling pandang. Ini adalah kesempatan mereka.
“Terima kasih, Pak,” kata Rifki dengan sungguh-sungguh.
Beberapa menit kemudian, Pak Amir berjalan santai menuju gudang. Ia membawa keranjang ikan busuk dan tanpa ragu melemparkannya ke arah Bram dan temannya.
“Hei! Apa-apaan ini?” teriak Bram marah.
Pak Amir tertawa sinis. “Kalian pikir bisa seenaknya di tanah ini? Bau busuk kalian bahkan lebih menyengat dari ikan-ikan ini!”
Bram mengangkat senjatanya, tapi sebelum ia bisa melakukan sesuatu, suara letupan petasan meledak di dekat mereka. Dua pria lain yang tampaknya bagian dari rencana Pak Amir mulai berteriak-teriak dari kejauhan, seolah terjadi keributan besar.
“Brengsek!” maki Bram. “Kau cari mati, ya?”
Ia dan temannya segera bergerak untuk mengejar sumber suara. Inilah saatnya.
Rifki dan Tegar berlari menuju pintu samping gudang. Dengan hati-hati, mereka mengintip ke dalam. Hasan duduk terikat di kursi di tengah ruangan, tubuhnya penuh luka lebam.
“Hasan!” bisik Rifki.
Hasan mendongak, matanya terbelalak. “Kalian harus pergi! Ini jebakan!”
Terlambat.
Sebelum mereka sempat bereaksi, pintu belakang gudang terbuka dan lima orang masuk dengan senjata terangkat. Di belakang mereka, Heru berdiri dengan senyum puas.
“Aku tahu kalian akan datang,” katanya sambil berjalan mendekat. “Dan sekarang, permainan ini berakhir.”
Tegar mengepalkan tinjunya. “Apa maumu, Heru?”
Heru terkekeh. “Sudah jelas, bukan? Aku ingin kalian semua menyerah. Tak ada lagi perlawanan. Tak ada lagi gangguan.”
Ia melangkah ke arah Hasan dan menepuk pundaknya. “Aku sudah menawarkan kesempatan padanya. Sayangnya, dia lebih memilih jalan sulit.”
Hasan menatap Heru dengan penuh kebencian. “Aku tak akan pernah tunduk pada bajingan sepertimu.”
Heru mendesah dramatis. “Sayang sekali.”
Ia menoleh ke anak buahnya. “Bawa mereka ke mobil. Irwan ingin bicara langsung dengan mereka sebelum kita menghabisi mereka.”
Anak buahnya bergerak cepat, mengarahkan senjata ke Rifki dan Tegar. Mereka tak punya pilihan. Jika mereka melawan, mereka akan mati di tempat.
Dengan tangan terikat, mereka digiring keluar gudang. Namun, saat mereka melangkah keluar, tiba-tiba terdengar suara tembakan dari kejauhan.
Dor!
Salah satu anak buah Heru terjatuh, darah mengalir dari dadanya.
“Serangan!” teriak seseorang.
Suasana berubah kacau. Dari balik reruntuhan bangunan di dekat dermaga, beberapa orang muncul dengan senjata rakitan. Rifki mengenali mereka—para nelayan yang selama ini diam, kini memilih untuk melawan.
Pak Amir ada di antara mereka, mengangkat senapan tua dengan tangan gemetar.
“Jangan biarkan mereka membawa Rifki dan Tegar!” teriaknya.
Heru mengumpat. “Bunuh mereka semua!”
Baku tembak tak terelakkan.
Rifki, Tegar, dan Hasan memanfaatkan kekacauan itu untuk bergerak. Hasan menabrak salah satu penjaga, membuatnya terjatuh. Tegar dengan sigap meraih pisau dari pinggang penjaga yang lain dan memotong tali di pergelangan tangannya.
“Kita harus keluar dari sini!” seru Rifki.
Mereka berlari menuju perahu kecil yang terikat di dermaga.
Di belakang mereka, Heru berteriak marah. “Jangan biarkan mereka kabur!”
Beberapa anak buahnya mengejar, menembakkan senjata ke arah mereka. Peluru menghantam kayu dermaga, memecahkan papan-papan lapuk.
Pak Amir dan nelayan lainnya menahan laju para pengejar dengan tembakan sporadis.
“Pergi sekarang!” teriak Pak Amir.
Rifki, Tegar, dan Hasan melompat ke perahu dan segera menghidupkan mesinnya. Perahu itu mulai bergerak perlahan, lalu melaju lebih cepat menjauhi dermaga.
Heru hanya bisa menatap mereka dengan wajah penuh amarah.
Di atas perahu, Rifki menatap pantai yang semakin jauh. “Kita selamat… untuk sementara.”
Hasan menghela napas panjang. “Tapi perang ini belum selesai.”
Tegar mengangguk. “Kita harus mencari cara lain untuk melawan mereka. Ini belum berakhir.”
Di kejauhan, suara ombak berbaur dengan gemuruh di daratan—perlawanan baru telah dimulai.
(Bersambung ke seri-18: Kembali dengan Nyali)