Senin, Mei 12, 2025
No menu items!

Pagar Laut yang Terlupakan (3): Ancaman di Balik Bayangan

Must Read

MALAM itu, setelah orang-orang suruhan Arief pergi meninggalkan ancaman, warga desa berkumpul di halaman rumah Pak Dahlan. Udara malam yang biasanya membawa kesejukan kini terasa pengap oleh kecemasan.

“Kita tidak bisa terus seperti ini,” ujar Pak Umar dengan suara berat. “Kalau mereka sudah berani datang ke rumah kita, berarti mereka siap melakukan lebih dari sekadar ancaman.”

Mak Sumi, yang duduk di anak tangga teras, menggeleng pelan. “Mereka pikir kita ini apa? Tanah ini sudah kita rawat turun-temurun. Lalu tiba-tiba datang orang-orang berduit, mau merebut begitu saja?”

Hasan berdiri, menatap wajah-wajah yang dipenuhi kecemasan. “Kita harus melawan. Kita tidak bisa menunggu mereka semakin berani.”

“Melawan bagaimana?” tanya seorang pemuda di belakang. “Kita tidak punya kekuatan. Tidak punya uang. Tidak punya orang yang membela kita.”

Pak Dahlan menghela napas. Ia tahu, mereka semua benar. Di mata hukum, mereka mungkin hanya penduduk kecil yang bisa dipindahkan kapan saja. Tapi ia tidak mau menyerah begitu saja.

“Kita akan mencari bantuan,” katanya mantap. “Besok, aku akan pergi ke kota, menemui pengacara atau siapapun yang bisa membantu kita.”

Pak Umar menepuk bahunya. “Aku ikut.”

Hasan juga mengangguk. “Aku juga.”

Malam itu, warga kembali ke rumah masing-masing dengan hati yang masih dipenuhi kegelisahan. Mereka tahu, badai besar akan segera datang.

Keesokan harinya, Pak Dahlan, Pak Umar, dan Hasan berangkat ke kota. Mereka menumpang perahu kecil ke pelabuhan, lalu melanjutkan perjalanan dengan angkutan umum ke pusat kota. Di dalam kendaraan yang penuh sesak, mereka membicarakan rencana.

“Aku dengar ada kantor bantuan hukum di sini,” ujar Hasan. “Mereka sering menangani kasus penggusuran.”

Pak Dahlan mengangguk. “Kita coba datangi mereka dulu.”

Sesampainya di kantor bantuan hukum, mereka disambut seorang perempuan muda bernama Rina. Ia mendengarkan cerita mereka dengan wajah serius.

“Kasus seperti ini sudah sering terjadi,” ujarnya. “Pengembang besar bekerja sama dengan pemerintah, membeli tanah warga dengan harga murah, lalu menggusur mereka.”

Pak Umar mengepalkan tangan. “Lalu apa yang bisa kita lakukan?”

Rina menarik napas. “Kami bisa membantu secara hukum. Tapi ini tidak mudah. Biasanya, perusahaan sudah memiliki dokumen yang ‘sah’ di mata hukum, meskipun caranya tidak benar. Kita harus mencari bukti bahwa mereka melakukan pelanggaran.”

Pak Dahlan menatapnya dengan harapan. “Kami siap melakukan apa pun.”

Rina mengangguk. “Baik. Saya akan menghubungi teman-teman di media. Kita buat kasus ini jadi perhatian publik.”

Mereka keluar dari kantor dengan harapan baru. Namun, baru beberapa langkah dari pintu, seorang pria berjaket hitam menghampiri mereka.

“Kalian dari desa itu, ya?” tanyanya dengan suara rendah.

Pak Dahlan menatapnya curiga. “Siapa Anda?”

Pria itu tersenyum sinis. “Aku cuma mau kasih tahu, kalau kalian terus macam-macam, kalian tidak akan pulang dengan selamat.”

Hasan maju dengan marah. “Kau mau apa?!”

Pria itu tertawa pelan, lalu berbalik pergi. Hasan hampir mengejarnya, tapi Pak Dahlan menahan tangannya.

“Jangan terpancing,” bisiknya. “Itu yang mereka mau.”

Hasan menghela napas, menahan kemarahan. Mereka melanjutkan perjalanan pulang dengan hati penuh waspada.

Sore harinya, di desa, suasana semakin mencekam. Beberapa warga melihat orang-orang asing berkeliaran di sekitar rumah Pak Dahlan dan Pak Umar.

“Kita harus bersiap-siap,” ujar Mak Sumi. “Mereka tidak akan tinggal diam.”

Di tengah ketegangan itu, seorang pemuda bernama Rifki datang dengan wajah panik.

“Pak Dahlan belum pulang?” tanyanya.

Mak Sumi menggeleng. “Belum. Ada apa?”

Rifki menelan ludah. “Aku dengar dari teman yang kerja di kota. Ada rencana mereka akan menyerang malam ini.”

Warga saling berpandangan. Ketakutan mulai merayap.

“Kita harus bertahan,” ujar Hasan yang baru tiba bersama Pak Dahlan dan Pak Umar. “Mereka tidak akan membuat kita pergi begitu saja. Kita juga tidak akan menyerah.”

Malam itu, warga berkumpul di mushala. Mereka menyusun rencana. Beberapa pemuda bersiap menjaga jalan masuk desa. Yang lain bersiaga di rumah masing-masing.

Ketika malam semakin larut, suara mesin kendaraan terdengar di kejauhan. Warga saling menatap.

“Sudah mulai,” bisik Pak Umar.

Mobil-mobil itu berhenti di depan jalan masuk desa. Beberapa pria turun, membawa pentungan dan besi. Salah satu dari mereka adalah orang yang mengancam Pak Dahlan di kota tadi siang.

“Keluar kalian!” seru salah seorang dari mereka. “Kami hanya ingin bicara!”

Pak Dahlan melangkah maju. “Kami tidak punya urusan dengan kalian. Pergilah!”

Pria itu tertawa. “Kami cuma ingin memastikan kalian tidak bertindak bodoh. Jangan coba-coba lawan orang yang lebih kuat.”

Hasan mendekat, wajahnya merah karena marah. “Kami tidak takut.”

Pria itu mengangkat pentungannya. “Kalau begitu, kita buat kalian takut.”

Suasana memanas. Beberapa warga mulai mengambil batu dan kayu. Ketegangan siap meledak. Tapi sebelum perkelahian pecah, suara sirene polisi terdengar dari kejauhan. Pria-pria itu langsung berbalik dan masuk ke dalam mobil. Mereka pergi sebelum polisi tiba. Warga bernapas lega. Tapi mereka tahu, ini belum selesai.

Pak Dahlan menatap jalan yang kini kosong. “Ini baru awal.”

(Bersambung ke seri ke-4: Menantang Ombak Kekuasaan)

Lazismu DKI Jakarta Salurkan 150 Paket Sembako di Kepulauan Seribu

KEPULAUAN SERIBU, JAKARTAMU.COM | Lembaga Amil Zakat, Infak, dan Sedekah Muhammadiyah (Lazismu) DKI Jakarta menyalurkan 150 paket sembako di...
spot_img
spot_img

More Articles Like This