JAKARTAMU.COM | Kairo, 972 Masehi. Di tengah terik padang pasir dan gema azan yang berbaur dengan suara pahat para pekerja, berdirilah sebuah lembaga yang kelak menembus zaman: Jami’ al-Azhar. Universitas Islam tertua ini bukan lahir dari keheningan ilmu, tetapi dari riuh konflik politik, sektarianisme, dan perebutan kekuasaan atas tanah Mesir.
Kelahirannya menjadi simbol kemenangan politik Syiah Ismailiyah dalam menggeser kekuasaan Sunni yang sudah lama bercokol di lembah Nil.
Di balik kemegahan masjid dan menara ilmu itu, berdiri bayang-bayang panjang konflik antara Daulah Fatimiyah dan Daulah Abbasiyah. Satu bertolak dari Maghrib (Maroko), satu bersemayam di Baghdad.
Pertempuran tak hanya di medan perang, tapi juga di medan legitimasi. Keduanya mengklaim sebagai Khalifah yang sah. Sementara dari arah barat, muncul satu lagi pesaing: Daulah Umayyah di Cordova yang turut mengangkat Khalifah sendiri.
Tiga Khalifah. Satu Dunia Islam. Dan Mesir jadi panggung utama.
Jejak Panjang Masuknya Islam
Islam pertama kali menapakkan kaki di Mesir pada masa pemerintahan Khalifah Umar ibn Khattab. Pasukan Amr ibn Ash dengan cepat menundukkan negeri Sungai Nil itu, menjadikannya basis penting untuk mengamankan Palestina yang baru saja direbut. Fustat pun ditetapkan sebagai ibu kota, titik awal transformasi besar Mesir dari pusat peradaban Firaun menjadi simpul penting dunia Islam.
Namun, perubahan itu tak pernah stabil. Mesir menjadi ajang lalu lalang kekuasaan: dari Umayyah ke Abbasiyah, lalu ke tangan Fatimiyah, Ayubiyah, hingga Mamluk. Setiap penguasa meninggalkan warisan—baik arsitektur, ilmu, maupun luka sejarah.
Fatimiyah: Dari Maroko Menuju Nil
Lahir dari bara pengkhianatan dan pelarian, Daulah Fatimiyah adalah buah dari perasaan tertindas kelompok Syiah terhadap dominasi Sunni Abbasiyah. Dalam pelariannya, tokoh Syiah seperti Imam Abdullah As-Syi’i dan Ubaidillah Al-Mahdi menyeberang hingga ke Afrika Utara. Dari desa Salmajah dekat Suriah ke pegunungan Maroko, dakwah disebar, pasukan dikumpulkan.
Tahun 909 M, Daulah Fatimiyah berdiri di Maroko, menjadi duri dalam daging bagi Abbasiyah di Baghdad. Tapi ambisi Fatimiyah tak berhenti di Barat. Target strategis mereka: Mesir. Lokasi geografisnya menjadikan negeri itu sebagai pintu masuk menuju Timur dan pusat dunia Islam.
Tiga kali berturut-turut pasukan mereka menyerang Mesir: pada 1003, 1009, dan 933 M. Semuanya gagal. Perlawanan Abbasiyah terlalu kuat. Simpati rakyat Mesir masih berpihak kepada Sunni. Dan mungkin yang lebih menentukan: kestabilan politik dan ekonomi internal Fatimiyah saat itu masih rapuh.
Namun tekad tidak padam. Pada tahun 969 M, satu generasi setelah Ubaidillah, Khalifah Al-Mu’izz mengirim Jauhar al-Katib untuk merebut Mesir. Kali ini berhasil. Fatimiyah membangun kota baru: Kairo. Dari kota ini, kekuasaan mereka bertahan lebih dari dua abad.
Mesir: Medan Pertarungan Sunni-Syiah
Kemenangan Fatimiyah atas Mesir bukan semata soal militer. Ia simbol dari perubahan poros kekuasaan Islam. Saat Abbasiyah melemah di Baghdad, dan Umayyah sibuk di Cordova, Fatimiyah mengambil alih panggung. Bukan hanya sebagai penguasa wilayah, tapi sebagai tandingan ideologis. Al-Azhar bukan hanya universitas. Ia adalah instrumen dakwah, pusat penyebaran ajaran Syiah Ismailiyah.
Namun kebesaran itu tidak kekal. Memasuki abad ke-12, Fatimiyah mulai digerogoti dari dalam. Perselisihan elite, tekanan ekonomi, dan kemunculan tokoh Sunni seperti Salahuddin al-Ayyubi menandai awal akhir mereka. Tahun 1171 M, Daulah Fatimiyah runtuh. Mesir kembali ke tangan Sunni di bawah panji Daulah Ayubiyah.
Menariknya, selama satu abad lebih, umat Islam hidup dalam bayang-bayang tiga Khalifah: di Baghdad, Cordova, dan Kairo. Ketiganya saling tak mengakui, saling menyerang, namun juga saling terhubung lewat ilmuwan, ulama, dan perdagangan.
Ketika politik tercerai-berai, ilmu tetap menyatukan. Inilah paradoks dunia Islam abad pertengahan: perang politik tak menghentikan kemajuan intelektual. Di tengah konflik dan pertumpahan darah, dunia Islam melahirkan Ibnu Sina, Alhazen, dan tentu saja: Al-Azhar.
Daulah Fatimiyah mungkin telah tumbang, namun jejaknya tetap ada. Dari arsitektur Kairo tua, kitab-kitab Ismailiyah, hingga model administrasi yang mereka bangun. Mereka adalah penguasa minoritas dalam negeri mayoritas Sunni, dan berhasil bertahan lebih dari dua abad.
Sejarah Mesir adalah sejarah perebutan. Namun lebih dari itu, ia adalah sejarah tentang bagaimana kekuasaan, ideologi, dan geografi membentuk wajah dunia Islam. Dari padang pasir Maghribi, hingga sungai Nil, perjuangan merebut Mesir tak pernah lepas dari pertanyaan: siapa yang paling berhak atas takhta umat?
Dan jawabannya, seperti biasa dalam sejarah: yang paling siap dan paling kuat.