LANGIT malam di atas desa tampak lebih kelam dari biasanya. Angin laut bertiup kencang, membawa aroma asin yang bercampur dengan ketegangan yang menggantung di udara. Rifki, Tegar, dan Hasan berjalan cepat di jalan setapak yang mengarah ke rumah Budi Santoso.
“Jika mereka sudah tahu keberadaan Pak Budi, itu berarti kita tak punya banyak waktu,” Rifki berkata dengan napas berat.
Tegar menggertakkan giginya. “Kita harus pastikan dia aman. Jika dia tertangkap, semua informasi yang kita miliki bisa hilang.”
Hasan yang berjalan di belakang mereka hanya diam. Keringat dingin mulai membasahi punggungnya. Ia tahu bahwa situasi ini semakin berbahaya, terutama karena ada sesuatu yang ia sembunyikan dari kedua rekannya.
Mereka sampai di rumah Budi yang tampak sepi dan gelap. Rifki mengetuk pintu dengan keras. “Pak Budi! Ini kami!”
Tak ada jawaban.
Tegar mencoba membuka pintu, tapi terkunci dari dalam.
“Kita harus masuk,” katanya dengan nada tegas.
Dengan sedikit tenaga, Rifki mendorong pintu hingga terbuka. Ruangan dalam tampak berantakan—kursi terbalik, dokumen berserakan di lantai, dan gelas pecah di sudut ruangan.
“Pak Budi?” Tegar memanggil dengan suara panik.
Dari balik kamar, terdengar suara lirih. Mereka bergegas masuk dan menemukan Budi tergeletak di lantai dengan wajah penuh luka.
“Pak Budi!” Rifki berlutut dan memeriksa nadinya. Ia masih bernapas, tapi sangat lemah.
“Mereka… mereka tahu segalanya,” Budi berbisik dengan suara serak. “Ada seseorang… di antara kalian… yang memberi tahu mereka…”
Rifki dan Tegar saling pandang dengan ekspresi terkejut.
“Siapa, Pak?” Rifki bertanya dengan nada mendesak.
Tapi sebelum Budi bisa menjawab, suara motor terdengar mendekat. Lampu-lampu senter menerobos celah jendela.
“Mereka datang,” gumam Tegar.
Irwan duduk dengan tenang di dalam mobilnya, memperhatikan layar ponsel yang menampilkan lokasi GPS.
“Orang-orang kita sudah sampai. Mereka akan menyingkirkan masalah ini untuk selamanya,” kata Heru yang duduk di sampingnya.
Irwan mengangguk. “Pastikan tak ada saksi. Jika perlu, habisi semuanya.”
Heru tersenyum sinis. “Jangan khawatir, Pak. Kami sudah menanam orang di dalam kelompok mereka. Mereka akan saling mencurigai, dan sebelum mereka menyadarinya, semuanya sudah berakhir.”
Di dalam rumah, Rifki menatap Hasan dengan curiga.
“Dari mana kau tahu Pak Budi dalam bahaya?” tanyanya dengan suara dingin.
Hasan terdiam sesaat, lalu menjawab, “Aku mendengar desas-desus di desa.”
Tegar memicingkan mata. “Atau kau yang membocorkannya?”
Hasan terkejut. “Apa maksudmu?”
“Tadi Pak Budi bilang ada pengkhianat di antara kita. Dan anehnya, kau yang pertama kali memberi tahu kami soal bahaya ini,” Rifki berkata tajam.
Hasan mengangkat tangannya. “Aku tak melakukan apa pun! Kalian serius menuduhku sekarang, saat kita dalam bahaya?”
Sebelum Rifki bisa menjawab, suara langkah kaki mendekat dari luar.
“Kita tak punya waktu untuk bertengkar,” kata Tegar. “Kita harus keluar dari sini.”
Mereka membantu Budi berdiri dan segera mencari jalan keluar. Tapi baru saja mereka sampai di pintu belakang, suara tembakan terdengar.
“Dapat mereka!” seseorang berteriak dari luar.
Tegar meraih sebuah kursi dan melemparkannya ke jendela belakang, menciptakan celah untuk melarikan diri.
“Lewat sini!” Rifki menarik Budi keluar terlebih dahulu.
Hasan ragu sejenak, lalu ikut melompat keluar.
Dari depan rumah, beberapa pria bersenjata mulai memasuki ruangan. Mereka melihat ke sekeliling dengan cepat.
“Mereka kabur lewat belakang!” salah satu dari mereka berteriak.
Dengan cepat, mereka mengejar Rifki dan yang lainnya yang berlari menuju kebun di belakang rumah.
“Cepat!” Tegar berbisik. “Kita harus ke arah laut. Mereka tak akan mengejar kita ke sana.”
Mereka terus berlari di antara pepohonan, sementara suara langkah kaki para pengejar semakin dekat.
Namun, di tengah pelariannya, Hasan tiba-tiba berhenti.
“Kalian pergi dulu. Aku akan mengalihkan perhatian mereka,” katanya.
Rifki menatapnya tajam. “Kenapa kau tiba-tiba jadi pahlawan?”
Hasan tersenyum lemah. “Percayalah padaku.”
Tanpa menunggu jawaban, ia berbalik dan berlari ke arah lain, menarik perhatian para pengejar.
Tegar menarik lengan Rifki. “Ayo pergi!”
Mereka terus berlari, meninggalkan Hasan yang kini sendirian menghadapi ancaman.
Di tepi pantai, Rifki dan Tegar bersembunyi di balik bebatuan, sementara Budi duduk terengah-engah di samping mereka.
“Apa kita benar-benar bisa mempercayai Hasan?” Rifki bertanya dengan suara rendah.
Tegar menghela napas. “Aku tidak tahu. Tapi jika dia benar-benar mengkhianati kita, kita akan segera mengetahuinya.”
Budi menatap laut yang gelap. “Kalian harus hati-hati. Jika ada pengkhianat di dalam kelompok ini, maka dia tidak akan berhenti sampai kita semua hancur.”
Dari kejauhan, suara tembakan kembali terdengar.
Hasan… apakah dia benar-benar mengorbankan dirinya, atau ini hanyalah bagian dari rencananya?
(Bersambung ke seri-16: Kebenaran yang Terlambat)