LANGIT desa masih diselimuti kelam saat Pak Dahlan keluar dari rumahnya. Angin laut berembus kencang, membawa aroma asin yang menyesakkan dada. Tatapannya lurus ke depan, menembus kegelapan yang menggantung di ufuk timur.
Ancaman lewat telepon semalam terus menghantui pikirannya. Bukan hanya tentang dirinya, tapi juga keselamatan warga yang masih bertahan.
Di halaman rumahnya, Pak Umar dan Hasan sudah menunggu. Wajah mereka tampak muram.
“Kita harus bicara,” kata Pak Umar tanpa basa-basi.
Pak Dahlan mengangguk, mengajak mereka masuk ke dalam. Di ruang tamu yang diterangi lampu minyak, mereka duduk melingkar.
“Sejak video kita viral, tekanan semakin kuat,” Hasan membuka pembicaraan. “Mereka tidak akan tinggal diam.”
Pak Umar menatap serius. “Malam ini aku mendengar ada mobil yang berkeliaran di desa. Lampunya dimatikan. Seperti sedang mengawasi.”
Pak Dahlan menghela napas. “Aku mendapat telepon ancaman tadi malam.”
Hasan mengepalkan tangan. “Sialan! Mereka pikir kita akan menyerah hanya karena itu?”
Pak Umar menepuk pundak Hasan. “Kita harus tenang. Jangan gegabah.”
Pak Dahlan menatap keduanya. “Aku tahu mereka akan makin brutal. Kita harus bersiap untuk kemungkinan terburuk.”
Hasan mengangguk. “Apa rencananya?”
Pak Dahlan mengambil secarik kertas. “Kita harus menyebarkan perlawanan kita lebih luas. Kita butuh lebih banyak dukungan.”
Pak Umar setuju. “Tapi kita juga harus memastikan warga tidak kehilangan semangat. Beberapa dari mereka sudah mulai ketakutan.”
Pak Dahlan bangkit berdiri. “Malam ini, kita kumpulkan semua warga yang masih bertahan. Kita tegaskan bahwa kita tidak sendiri.”
Malam itu, warga berkumpul di rumah Pak Dahlan. Wajah-wajah penuh kegelisahan menyelimuti ruangan.
“Saudara-saudara,” Pak Dahlan membuka suara. “Kita sedang berada dalam pertempuran yang sulit. Tapi kita tidak boleh mundur.”
“Ancaman terus berdatangan. Kita diawasi. Kita ditekan. Tapi ini justru membuktikan bahwa mereka takut,” lanjutnya.
Hasan berdiri. “Kalau kita menyerah sekarang, artinya perjuangan kita sia-sia. Kita harus melawan dengan lebih cerdas.”
Mak Sumi mengangkat tangan. “Tapi bagaimana kalau mereka mulai menggunakan kekerasan? Kita tidak punya kekuatan untuk melawan mereka.”
Rifki menimpali, “Kita punya satu senjata yang mereka tidak bisa kendalikan—publikasi. Semakin banyak orang tahu tentang ketidakadilan ini, semakin sulit bagi mereka untuk bertindak sewenang-wenang.”
Pak Dahlan mengangguk. “Rifki benar. Kita harus terus menyebarkan informasi. Jangan biarkan mereka membungkam kita.”
Pak Umar menambahkan, “Tapi kita juga harus berjaga. Mulai malam ini, kita buat sistem ronda. Kita tidak boleh lengah.”
Warga mengangguk setuju.
Dini hari, ketika sebagian warga sudah kembali ke rumah, Rifki masih terjaga di depan laptopnya. Ia terus memperbarui media sosial, membalas komentar, dan menghubungi beberapa jurnalis independen.
Tiba-tiba, sebuah pesan masuk ke ponselnya.
“Hentikan sekarang atau bersiap menerima akibatnya.”
Rifki merasakan bulu kuduknya berdiri. Ia segera membangunkan Hasan.
“Kita diawasi,” katanya dengan suara tegang.
Hasan membaca pesan itu dan mengumpat pelan. “Bajingan! Mereka sudah mulai.”
Tanpa mereka sadari, di luar rumah, sebuah mobil hitam melintas perlahan, bayangannya membaur dengan gelapnya malam.
Keesokan paginya, desa gempar.
Pak Jono, salah satu warga yang paling vokal menolak penggusuran, ditemukan tergeletak di depan rumahnya. Wajahnya penuh luka lebam, bibirnya sobek, dan darah masih mengalir dari pelipisnya.
Rina menjerit melihat kondisinya. “Pak Jono!”
Warga berhamburan keluar rumah. Hasan dan Pak Dahlan segera membawa Pak Jono masuk ke rumahnya.
“Siapa yang melakukan ini?” tanya Rina dengan mata berkaca-kaca.
Pak Jono membuka matanya dengan susah payah. Suaranya lirih. “Mereka… datang tadi malam… tiga orang… aku tidak bisa melihat wajah mereka…”
Hasan menggeram. “Ini sudah keterlaluan!”
Pak Dahlan mengepalkan tangan. “Ini peringatan untuk kita. Mereka ingin kita takut.”
Pak Umar menatap sekeliling. “Kalau kita diam, maka kita kalah.”
Mata Rifki membara. “Kita tidak akan diam. Kita akan pastikan dunia tahu apa yang terjadi di sini.”
Sementara itu, di balik layar, Arief menerima laporan dari anak buahnya.
“Kami sudah beri peringatan. Tapi mereka masih keras kepala.”
Arief menghela napas. “Maka kita harus lebih keras lagi.”
Orang di seberang telepon tertawa kecil. “Saya mengerti, Tuan. Kami akan buat mereka mengerti siapa yang berkuasa di sini.”
Di desa, warga bersiap menghadapi gelombang kekerasan yang lebih besar. Perlawanan mereka baru saja memasuki babak yang lebih berbahaya.
(Bersambung serike-8: Bayang-Bayang Teror)