Sabtu, Mei 24, 2025
No menu items!
spot_img

Pagar Laut yang Terlupakan (8): Bayang-Bayang Teror

Must Read

FAJAR menyingsing dengan getir di desa yang mulai dicekam ketakutan. Setelah kejadian semalam, semua orang tahu bahwa perlawanan ini tak lagi sekadar adu argumen atau negosiasi yang sia-sia. Mereka sedang berhadapan dengan musuh yang tak segan-segan memakai kekerasan untuk membungkam siapa pun yang berani melawan.

Pak Jono masih terbaring di ranjang, wajahnya memar, matanya setengah terbuka. Rina duduk di sampingnya, menggenggam tangannya dengan erat. Hasan dan Rifki berdiri di sudut ruangan, menatap dengan rahang mengeras.

“Kita harus melapor ke polisi,” kata Hasan akhirnya.

Pak Dahlan yang baru datang hanya tersenyum pahit. “Dan menurutmu mereka akan bertindak?”

Hasan diam. Semua orang tahu bagaimana posisi aparat dalam konflik ini. Mereka yang seharusnya melindungi rakyat justru menjadi perpanjangan tangan para pemilik modal.

“Kita harus bertindak lebih cerdas,” ujar Rifki. “Semakin mereka menekan kita, semakin besar kesempatan kita untuk membalikkan keadaan.”

Pak Umar, yang sejak tadi diam, akhirnya bersuara. “Aku setuju. Kita harus punya bukti lebih kuat. Video, foto, saksi. Jika kita bisa membuktikan bahwa mereka melakukan kekerasan, tekanan dari luar akan lebih besar.”

Hasan mengangguk. “Aku bisa pasang beberapa kamera tersembunyi di tempat-tempat strategis.”

Pak Dahlan menatap mereka satu per satu. “Baik. Kita jalankan rencana ini. Tapi kita juga harus bersiap jika mereka datang lagi.”

Sore itu, Rifki kembali duduk di depan laptopnya, mengunggah peristiwa semalam ke media sosial. Video wajah Pak Jono yang babak belur disertai narasi tentang penganiayaan itu langsung mendapat respons luas. Puluhan ribu orang membagikan unggahannya, berbagai komentar berisi dukungan dan kecaman terhadap kekerasan yang terjadi membanjiri kolom komentar.

Ponselnya bergetar. Sebuah nomor tak dikenal menelepon.

“Angkat saja,” kata Hasan yang duduk di sampingnya.

Rifki menekan tombol hijau.

“Kalian pikir bisa menang dengan menyebarkan kebohongan?” Suara di seberang terdengar dingin. “Hapus semua unggahanmu sekarang, atau kalian akan menyesal.”

Darah Rifki mendidih. “Kami hanya menyebarkan kebenaran.”

Terdengar tawa kecil. “Kebenaran? Mari kita lihat berapa lama kalian bisa bertahan. Kami akan datang lagi, dan kali ini, kami tidak akan sekadar memberi peringatan.”

Sambungan terputus. Rifki menatap Hasan dengan mata membelalak.

“Mereka akan menyerang lagi.”

Hasan mengangguk, rahangnya mengeras. “Biarkan mereka datang. Kali ini kita sudah siap.”

Malam turun dengan ketegangan yang menggantung di udara. Warga yang tersisa berkumpul di beberapa titik, bersiap jika sesuatu terjadi. Hasan dan beberapa pemuda berjaga dengan senjata seadanya—bambu runcing, golok, bahkan beberapa batu yang mereka kumpulkan.

Di sudut desa, Rifki memeriksa kamera yang sudah dipasang di beberapa tempat strategis. “Kita harus bisa menangkap wajah mereka,” katanya pada Hasan.

Hasan menatap sekeliling. “Malam ini akan panjang.”

Tepat tengah malam, deru kendaraan terdengar dari kejauhan. Rifki yang sedang berjaga langsung mengabari yang lain. Hasan mengangkat pentungan, memberikan sinyal kepada warga untuk bersiap.

Tiga mobil hitam memasuki desa. Lampu depan mereka dimatikan, hanya menyisakan suara mesin yang menggeram pelan. Sosok-sosok berpakaian gelap turun dari kendaraan, masing-masing membawa pentungan dan senjata tumpul.

Seorang pria berjas membuka pintu mobil dan melangkah keluar. Arief.

“Pak Dahlan!” serunya, suaranya terdengar santai tetapi berbahaya. “Aku ingin berbicara baik-baik.”

Pak Dahlan melangkah maju, berdiri di hadapan mereka dengan tenang. “Kami sudah cukup mendengar kata-kata manis dari kalian.”

Arief tersenyum miring. “Sayang sekali. Padahal aku berharap kita bisa menyelesaikan ini tanpa kekerasan.”

Dengan isyarat kecil, pria-pria berbaju hitam itu maju.

Dan saat itulah, sesuatu yang tidak mereka duga terjadi.

Lampu-lampu menyala terang dari beberapa sudut desa, menerangi wajah-wajah mereka. Kamera yang dipasang Rifki mulai merekam. Dari sudut-sudut rumah, warga muncul dengan ponsel mereka, merekam kejadian yang sedang berlangsung.

Arief menyipitkan mata, menyadari apa yang sedang terjadi.

“Kami sudah cukup diam,” kata Pak Umar lantang. “Sekarang semua orang akan melihat siapa kalian sebenarnya.”

Para pria berbaju hitam tampak ragu. Mereka tidak menyangka bahwa warga telah mempersiapkan jebakan ini.

Arief mendengus. “Bagus. Tapi kalian pikir itu cukup?”

Ia memberi isyarat lain.

Tiba-tiba, suara letusan terdengar. Sebuah bom asap dilempar ke tengah kerumunan, membuat warga panik. Di tengah kekacauan, beberapa pria berpakaian hitam menyerbu ke depan, menyerang warga yang berada di garis depan.

Hasan menangkis pukulan dengan bambu runcingnya, sementara Rifki berusaha menyelamatkan kamera yang terpasang. Suara jeritan bercampur dengan suara batuk akibat asap yang mulai menyesakkan.

Pak Dahlan terjatuh saat seseorang mendorongnya dengan keras. Arief mendekatinya, berlutut di sampingnya.

“Kalian ingin melawan dengan kamera? Aku akan pastikan itu menjadi video terakhir yang kalian buat.”

Sebelum Arief bisa berbuat lebih jauh, sebuah batu melayang dan menghantam lengannya. Hasan berlari ke arahnya, menyeret Pak Dahlan menjauh.

Sementara itu, Rifki berhasil menyelamatkan salah satu kamera. Ia berlari menuju tempat aman, berusaha mengunggah rekaman itu secepat mungkin.

Arief menyadari apa yang sedang terjadi. “Hancurkan semua kamera!” teriaknya.

Beberapa anak buahnya berusaha merusak peralatan yang terpasang, tetapi warga sudah mulai melawan dengan segala yang mereka punya.

Hasan menggendong Pak Dahlan yang terluka ke tempat aman. “Kita harus keluar dari sini!”

Rifki berlari ke arahnya. “Rekaman sudah aman! Aku sedang mengunggahnya!”

Arief yang melihat itu hanya bisa menggertakkan giginya. “Kita mundur!” perintahnya kepada anak buahnya.

Dengan cepat, mereka kembali ke mobil dan meninggalkan desa. Asap masih menggantung di udara, meninggalkan luka dan ketakutan yang lebih dalam di hati warga.

Tapi mereka juga meninggalkan sesuatu yang lebih berharga—rekaman yang bisa menjadi bukti atas kejahatan mereka.

Di ponselnya, Rifki melihat layar yang menampilkan satu pesan baru:

“Video berhasil diunggah.”

Perlawanan baru saja mencapai babak baru.

(Bersambung ke seri-9: Gelombang Perlawanan)

Adab Haji Agar Memperoleh Haji yang Mabrur Menurut Al-Qathani

JAKARTAMU.COM | Syaikh Said bin Ali bin Wahf al-Qahthani, dalam bukunya yang berjudul "Min Adab Al-Haju", menyebutkan berbagai adab...
spot_img
spot_img
spot_img

More Articles Like This