Minggu, Mei 25, 2025
No menu items!
spot_img

Pagar Laut yang Terlupakan (9): Gelombang Perlawanan

Must Read

REKAMAN yang berhasil diunggah Rifki menjadi senjata yang tak terduga bagi warga. Dalam hitungan jam, video tersebut menyebar luas. Potongan adegan pria-pria berbaju hitam menyerang warga, asap yang mengepul, dan wajah Arief yang terekam jelas memberikan gambaran nyata tentang kekejaman yang terjadi.

Media sosial menjadi medan tempur baru. Tagar #SelamatkanDesaPesisir mendadak trending. Beberapa aktivis mulai mengangkat isu ini, menyoroti tindakan intimidasi dan kekerasan yang dilakukan terhadap warga. Bahkan, beberapa jurnalis independen mulai menelusuri jejak perusahaan yang terlibat dalam penggusuran ini.

Namun, di balik itu semua, bahaya baru mengintai.

Pagi itu, suasana di rumah Pak Dahlan terasa tegang. Pria paruh baya itu masih terbaring lemah setelah insiden tadi malam. Rina membantunya duduk sambil menyeka luka di dahinya.

“Kita harus bersiap. Mereka pasti tak akan tinggal diam,” ujar Pak Umar yang duduk di sudut ruangan.

Hasan mengangguk. “Semalam mereka mundur karena kita punya bukti. Tapi mereka pasti punya cara lain untuk membungkam kita.”

Rifki masuk ke dalam rumah dengan napas tersengal. “Kita dapat dukungan. Beberapa jurnalis ingin datang ke desa, mereka ingin meliput langsung.”

Pak Dahlan tersenyum tipis. “Bagus. Semakin banyak mata yang mengawasi, semakin sulit bagi mereka untuk bertindak semena-mena.”

Tiba-tiba, terdengar suara deru kendaraan dari luar. Semua orang langsung menegang. Hasan mengintip dari balik jendela.

“Mobil polisi,” bisiknya.

Beberapa saat kemudian, tiga orang polisi turun dari mobil, diikuti dua pria berbaju sipil. Salah satu polisi melangkah ke depan dengan ekspresi datar.

“Kami ingin berbicara dengan Rifki,” katanya.

Semua orang saling berpandangan. Rifki menguatkan diri, lalu melangkah keluar.

“Ada apa, Pak?” tanyanya dengan nada setenang mungkin.

Polisi itu menyerahkan selembar surat. “Ada laporan bahwa Anda menyebarkan berita bohong yang meresahkan masyarakat. Kami perlu Anda ikut ke kantor untuk dimintai keterangan.”

Hasan mengepalkan tangan. “Ini jelas akal-akalan mereka!”

Pak Umar maju selangkah. “Bukti yang kami unggah adalah kebenaran. Kalian bisa melihat sendiri videonya.”

Polisi itu tetap bersikap dingin. “Kami hanya menjalankan tugas. Jika Anda tidak mau bekerja sama, kami bisa membawa Anda dengan paksa.”

Rifki menarik napas panjang. Ia tahu, melawan saat ini hanya akan memperburuk keadaan.

“Aku ikut,” katanya pelan.

Rina menahan lengannya. “Jangan, Rif! Mereka pasti punya niat buruk!”

Rifki menepuk tangan Rina dengan lembut. “Aku harus pergi. Kalau aku menolak, mereka punya alasan untuk lebih keras pada kita.”

Hasan masih ingin protes, tapi Pak Dahlan menggeleng. “Biarkan dia pergi. Kita akan cari cara untuk membantunya.”

Dengan langkah tegap, Rifki masuk ke dalam mobil polisi.

Saat kendaraan itu melaju meninggalkan desa, Pak Dahlan mengepalkan tangannya. “Kita tidak bisa diam saja. Kita harus mencari bantuan.”

Sementara itu, di dalam kantor polisi, Rifki duduk di sebuah ruangan kecil dengan penerangan minim. Seorang pria berkacamata hitam duduk di depannya, menatapnya dengan seringai mengejek.

“Kau pikir menyebarkan video itu akan membuatmu jadi pahlawan?” pria itu bertanya.

Rifki menatapnya tajam. “Aku hanya menyampaikan kebenaran.”

Pria itu tertawa kecil. “Kebenaran itu relatif, Nak. Yang berkuasa menentukan apa yang benar dan salah.”

“Jadi kalian ingin aku menghapus video itu?” Rifki bertanya.

Pria itu menggeleng. “Tidak perlu. Video itu sudah menyebar. Tapi kami ingin memastikan kau tidak membuat lebih banyak masalah.”

Ia mencondongkan tubuhnya. “Berhenti mencampuri urusan ini. Pergi dari desa, cari hidup lain. Kalau tidak…”

Ia mengambil selembar foto dari dalam map dan mendorongnya ke arah Rifki.

Rifki menatapnya. Itu foto Rina dan ibunya.

Darahnya mendidih. “Kalian mengancam keluargaku?”

Pria itu tersenyum. “Bukan ancaman. Hanya peringatan.”

Di desa, ketegangan semakin memuncak. Hasan dan beberapa warga berdiskusi mencari cara untuk membantu Rifki.

“Kita harus mencari dukungan lebih banyak,” kata Pak Umar. “Semakin besar tekanan dari luar, semakin sulit bagi mereka untuk bertindak seenaknya.”

Seorang pemuda bernama Tegar angkat bicara. “Aku punya kenalan di LSM lingkungan. Mereka mungkin bisa membantu.”

Pak Dahlan mengangguk. “Hubungi mereka. Kita butuh semua bantuan yang bisa kita dapatkan.”

Tak lama kemudian, sebuah kabar mengejutkan datang. Beberapa media nasional mulai meliput kasus ini. Wartawan mulai berdatangan ke desa, mencari informasi lebih lanjut.

Namun, di saat yang sama, para preman mulai muncul lagi. Kali ini, mereka tidak hanya menakut-nakuti, tetapi juga mulai merusak beberapa rumah warga yang dianggap sebagai pendukung perlawanan.

Sebuah rumah dibakar. Warga berlari panik, berusaha memadamkan api.

Pak Dahlan menatap kobaran api itu dengan mata nanar. “Mereka sudah mulai mengganas.”

Hasan mengepalkan tangan. “Kita tidak bisa hanya bertahan. Kita harus melawan.”

Di dalam selnya, Rifki duduk termenung. Pikirannya terus berputar. Ancaman tadi masih terngiang di telinganya.

Namun, di saat yang sama, ia teringat sesuatu.

Ia masih memiliki salinan video lain. Jika ia bisa mengirimkannya ke lebih banyak media, maka tekanan terhadap mereka akan semakin besar.

Ia mengambil napas dalam.

“Aku tidak akan menyerah.”

Di luar sana, gelombang perlawanan semakin membesar.

Dan ia akan memastikan bahwa mereka tidak berjuang sia-sia.

(Bersambung ke seri 10: Bara yang Tak Padam)

Serangan Udara Israel di Gaza Tewaskan 52 Warga Palestina

JAKARTAMU.COM | Serangan udara Israel di Jalur Gaza sejak Sabtu (24/5/2025) pagi telah menewaskan sedikitnya 52 warga Palestina. ,...
spot_img
spot_img

More Articles Like This