Jumat, Agustus 1, 2025
No menu items!

cerita bersambung

Dua Luka dalam Satu Atap (19): Jeda yang Menyelamatkan

MALAM bergulir panjang setelah telepon itu berakhir. Hujan tak juga reda, menetes di atas genting rumah ibu dengan irama yang ganjil seperti suara hati yang tak kunjung selesai menyusun alasan untuk tetap kuat. Aku duduk lama di kursi rotan, memeluk...

Dua Luka dalam Satu Atap (18): Percakapan yang Tak Pernah Selesai

MALAM turun tanpa upacara. Langit meredup perlahan, menutup sisa senja yang tadi sempat memberiku kehangatan singkat. Di meja ruang tamu rumah ibu, bunga krisan kuning yang kubeli siang tadi masih segar di dalam vas plastik bening. Aku duduk di...

Dua Luka dalam Satu Atap (17): Langkah Kecil Menuju Diri Sendiri

PAGI itu, aku bangun lebih awal dari biasanya. Burung-burung di pohon mangga belakang rumah ibu berkicau riuh seakan sedang merayakan sesuatu yang tak kumengerti. Tapi entah mengapa, suara mereka terdengar lebih ramah daripada keramaian kota yang selama ini kupanggil...

Dua Luka dalam Satu Atap (16): Hari di Mana Aku Tak Menangis Lagi

PAGI itu, matahari menyelinap lewat celah genting rumah ibu. Cahaya kuning pucat jatuh di lantai semen yang dingin. Aku terjaga tanpa perasaan yang dulu biasa singgah: jantung yang berdegup cemas, tenggorokan yang tercekat, dan dada yang terasa berat menanggung...

Dua Luka dalam Satu Atap (15): Pelukan yang Tak Pernah Diminta

MALAM itu, angin berkesiur lewat jendela tua di kamar ibu. Tirai putih bergetar pelan, menyingkap sedikit temaram lampu jalan di luar. Aku duduk di kursi rotan warisan kakek, berselimutkan kain tipis, memandangi ponsel yang diam di telapak tangan. Pesanmu masih...

Dua Luka dalam Satu Atap (14): Ruang Tunggu yang Tak Bernama

KERETA sore itu melaju pelan melewati sawah-sawah basah. Jendela berkabut oleh embun sisa hujan semalam. Di bangku dekat jendela, aku duduk sendiri. Tas kecil di pangkuan, tangan menggenggam buku catatan yang sudah bertahun menemani. Di seberang, seorang ibu tua tertidur...

Dua Luka dalam Satu Atap (13): Saat Rumah Tak Lagi Pulang

ADA pagi yang tak menyambut dengan cahaya, hanya dingin yang menggulung dari sela-sela jendela. Seperti pagi itu. Matahari seolah enggan menampakkan dirinya, seperti aku yang tak lagi tahu ke mana harus menyandarkan pulang. Kupandangi kamar yang pintunya masih setengah terbuka....

Dua Luka dalam Satu Atap (12): Janji yang Akhirnya Kulepaskan

MALAM itu, aku terjaga lebih lama dari biasanya. Suara hujan sudah reda, tapi sepi yang tertinggal di rumah ini lebih nyaring dari gemuruh badai mana pun. Kau terlelap di kamar, anak kita tidur di kamarnya sendiri. Sementara aku duduk...

Dua Luka dalam Satu Atap (11): Satu-Satunya Alasan Aku Bertahan

MALAM merambat seperti hembusan dingin yang tak diundang. Kau sudah lama mematikan lampu kamar, tapi aku masih terjaga di ruang tamu. Lilin kecil berkedip di atas meja, seakan ikut menahan napas, takut padam sebelum waktunya. Aku memandangi pintu kamar yang...

Dua Luka dalam Satu Atap (10): Perpisahan yang Tak Pernah Diumumkan

ADA perpisahan yang disertai air mata, tangisan, dan pintu yang dibanting. Tapi ada juga perpisahan yang tak pernah diumumkan—yang datang diam-diam, bersembunyi di balik kebiasaan, menunggu saat yang tepat untuk menjelma jurang. Dan itulah perpisahan kita. Pagi itu, kau masih duduk...

Latest News

Warga Adat Jimbaran Wadul BP Taskin, Minta Hak Mereka Dikembalikan

JAKARTAMU.COM | Rombongan warga Desa Adat Jimbaran, Bali, mengadukan nasib mereka ke Badan Percepatan Pengentasan Kemiskinan (BP Taskin) di...